Sabtu, 19 Desember 2009

1. KATEGORI KATA DIONYSIUS THRAX DAN PRISCIANUS


Perkembangan ilmu kebahasaan (linguistik) dapat dikatakan bersumber pada catatan sarjana-sarjana Yunani yang demikian rapi. Banyak sarjana Yunani yang berjasa besar dalam mengembangan linguistik. Di antara mereka adalah Plato dan muridnya Aristotel yang mengembangkan pengkategorian dalam bahasa. Pada perkembangan selanjutnya kita kenal Dionysius Thrax dan Priscianus yang mengembangkan kategori kata dalam bahasa. Kategori kata yang dikembangkan oleh kedua sarjana ini dapat dibandingkan sebagaimana tabel di bawah ini.



Dionysius Thrax dan Priscianus tampaknya mempunyai pandangan yang tidak jauh berbeda dalam mengelompokan kata. Kedua sarjana ini mengkategorikan kata menjadi delapan jenis. Berdasarkan tabel di atas dapat kita ketahui bahwa dari delapan kategori yang dibuat oleh Dionysius Thrax dan Priscianus hanya satu kategori saja yang berbeda, yaitu pada kategori nomor empat. Dionysius Thrax menetapkan sebuah kategori kata sandang (arthron/article), sementara Priscianus tidak mempergunakan kategori ini tetapi menggantinya dengan kata seru (interiectio/interjecsi). Secara lengkap penjelasan tentang penjenisan kata tersebut diuaikan di bawah ini.

Klasifikasi Jenis Kata Dionysius Thrax

1. Onoma, yaitu jenis kata yang dapat mengalami infleksi kasus dengan kasus yang ada, yang menandai orang atau barang.

2. Rhema, atau kata kerja, yaitu jenis kata tanpa mengalami infleksi kasus, tetapi mengalami infleksi karena tense, manusia, bilangan, dan menandai aktivitas atau proses.

3. Metoche atau participle, yaitu jenis kata yang memiliki ciri-ciri sebagai kata kerja atau kata benda.

4. Arthron atau article, yaitu jenis kata yang mengalami infleksi untuk kasus dan menempati posisi sebelum atau sesudah onoma.

5. Antonymia atau kata ganti, yaitu jenis kata yang menggantikan onoma, khususnya manusia.

6. Prothesis atau preposisi, yaitu jenis kata yang menempati posisi awal kata-kata lain dalam suatu komposisi atau dalam sintaksis.

7. Epirhema atau kata keterangan, yaitu jenis kata yang tidak mengalami infleksi dalam perubahan kata kerja atausebagai tambahan kata kerja.

8. Syndesmos atau conjungsi, yaitu jenis kata yang mengikat wacana bersama dan mengisi kesenjangan interpretasinya.

Klasifikasi Kata Priscianus

1. Nomen atau kata benda, termasuk kata-kata yang sekarang ini dikenal sebagai kata sifat. Ciri kata benda, dengan demikian, menunjukkan zat atau kualitas, kualitas umum atau kualitas khusus dari sesuatu badan atau barang.

2. Verbum atau kata kerja; kata ini menunjukkan suatu tindakan atau yang terkena tindakan. Jenis kata ini mempunyai bentuk-bentuk tense dan mood, yaitu sesuatu yang bisa mengungkapkan perasaan tetapi tidak mengalami infleksi untuk kasus.

3. Participium atau participle, yaitu suatu kelas kata kata-kata yang secara deriasional mengacu kepada kata kerja, mempunyai sifat yang sama untuk kata kerja maupun kata benda, tetapi tidak dapat dikategorikan ke dalam salah satu kata tersebut.

4. Pronomen (pronoun) atau dikenal sebagai kata ganti. Sifat kata ganti ialah kemampuannya untuk mengganti kedudukan nama diri atau kata ganti orang: pertama, kedua, atau ketiga, tunggal atau jamak.

5. Adverbium atau kata keterangan. Sifat kata keterangan ini ialah kenyataan bahwa ia dapat dipergunakan bersama-sama denga kata kerja, yang secara sintaksis dan semantis, merupakan bawahan kata kerja tersebut.

6. Prepositio atau preposisi. Sifat preposisi ini ialah kemampuannya dipergunakan sebagai kata yang terpisah yang diletakkan di muka kata-kata yang mengalami infleksi karena kasus dan di dalam komposisi seblum kata-kata yang mengalami atau tidak mengalami infleksi untuk kasus.

7. Interissctio atau interjecsi, yaitu suatu kelas kata-kata yang secara sintaksis tidak terikat oleh kata kerja, tetapi dapat menujukkan rasa atau keadaan jiwa.

8. Coniunctio atau conjungsi. Sifat kelompok kata ini ialah kemampuannya menghubungkan dua atau tiga anggota jenis kata yang lain secara sintaksis, dan menyatakan hubungan antara kata-kata itu.



2. KONTROVERSI LINGUISTIK

Perkembangan ilmu bahasa tidak bisa dilepaskan dari berbagai macam kontroversi yang mengikutinya. Kontroversi tersebut merupakan hal yang sangat alami/wajar terjadi dalam perkembangan keilmuan. Bahasa apapun di dunia ini senantiasa berkembang sesuai dengan perubahan peradaban dan kebudayaan. Perubahan-perubahan dari berbagai macam sisi ini memicu lahirnya beragam pendapat dengan kepentingan dan sudut pandang yang berbeda. Demikian pula yang terjadi dengan ilmu bahasa. Banyak sekali terjadi perbedaan pandangan terhadap analisis sebuah ilmu kebahasaan. Di antara kontroversi yang terjadi dalam kajian linguistik adalah sebagaimana diuraiakan dalam pembahasan ini.

Kontroversi linguistik sudah terjadi sejak zaman Yunani Kuno. Kontroversi dalam bidang linguistik ini terus berkembang sampai sekarang . Berbagai ragam kontroversi harus bisa menjadi tambahan khasanah keilmuan, bukan sekedar beradu argumentasi yang pada akhirnya hanya berujung pada dendam kesumat dan pengelompokan individu belaka. Dengan pembahasan ini akan dikupas berbagai kontroversi linguistik, diantaranya adalah phusis-thesis, analogi-anomali, empirisme-rasionalisme, strukturalisme-gramatika transformas generatif.

1. Phusis dan Thesis

Kontroversi antara kubu Phusis dan Thesis merupakan kontroversi bidang linguistik yang pertama, terjadi sekitar abad keenam sebelum Masehi. Kedua kubu ini mempertentangkan kaitan antara bahasa (kata) dengan alam. Kubu Phusis meyakini bahwa dalam sebuah bahasa terjadi hubungan erat antara kata-kata dengan alam. Kubu Phusis menyatakan beberapa argumentasi bahwa ada kaitan antara kata dengan alam. Pertama, adanya gejala onomatopoeia, yaitu gema suara alam. Menurut kubu ini onomatopoeia dipergunakan untuk memberikan nama konsep-konsep kebendaan yang ada di sekeliling manusia. Sebagai contoh adalah kata-kata di bawah ini.


B. INGGRIS      B.  NDONESIA          KETERANGAN

splash                percik                            suara gemercik air

pick                   petik                              suara petikan gitar

sway                 ayun                              suara ayunan_swaiis



Kedua, gejala asosiasi bunyi dengan sifat seseorang atau benda. Gejala ini merupakan perkembangan dari onomatopoeia. Sebagai contoh dari gejala ini adalah bunyi-bunyi /i/ (dalam bahasa Indonesia) diasosiasikan dengan kecantikan, kemungilan, atau kesucian. Perwujudan dari gejala ini adalah pada kata-kata melati, suci, murni, mungil, indah, dll. Gejala ketiga yang juga merupakan perkembangan dari onomatopoeia adalah asosiasi warna, lagu, dan perasaan. Perkembangan onomatopoeia jenis ini sangat bermanfaat dalam sistem pengaturan cahaya, warna kostum, lagu-lagu pengiring dalam pementasan seni, drama, dan tari.

Sementara itu kubu Thesis menyatakan bahwa tidak ada kaitan antara kata dan alam. Kubu Thesis menyampaikan contoh-contoh yang berdasarkan kaidah asosiasi ternyata tidak ada kaitannya sama sekali antara kata dengan alam. Nama-nama yang diberikan ternyata hanyalah merupakan konvensi antarsesama anggota masyarakat penutur suatu bahasa. Orang Inggris mengatakan branches of a tree, orang Indonesia menyebut cabang-cabang pohon, sementara orang Jawa mengatakan pangé wit? Hal ini tentunya juga terjadi dengan berbagai bahasa yang lain di belahan dunia ini. Hal ini menurut kubu Thesis sama sekali tidak mencerminkan adanya kaitan antara kata dengan alam, antara nama benda atau konsep dengan gema suara alam.


2. Analogi dan Anomali

Paham analogi dan paham anomali merupakan kontroversi kedua yang terjadi sekitar abad keempat sebelum Masehi. Kontroversi yang terjadi di antara kedua paham ini dapat dikatakan sangat tajam sehingga membawa pada perseteruan yang mengakibatkan pembatasan wilayah bagi kedua paham ini. Penganut paham Analogi berpusat di kota Alexandria, sedangkan para penganut paham Anomali lebih senang tinggal di kota Pergamum. Penganut paham Analogi meyakini bahwa bahasa itu tertata oleh suatu aturan yang pasti (laguange is governed). Contoh kata petinju, pelatih, pengajar, dan pengecat mengandung makna orang yang pekerjaannya sesuai dengan kata dasarnya, sehingga kata yang bentuknya sama dengan itu mempunyai makna dasar yang sama. Sementara itu penganut paham Anomali menganggap bahwa dalam bahasa tidak ada keteraturan yang pasti. Jika terdapat keteraturan, sebenarnya keteraturan itu hanya merupakan sebagian kecil dari ketidakteraturan tersebut. Bukti yang dicontohkan di atas tidak selamanya bermakna orang yang, tetapi bisa bermakna lain, misalnya penggali, penghapus, dan pembersih dapat bermakna orang atau alat. Pertentangan kedua paham ini sebenarnya merupakan kekuatan dari ilmu kebahasaan. Bagaimanpun paham analogi dan anomali, sudah barang tentu akan dapat menambah khasanah keilmuan terutamma dalam linguistik.

Kedua paham ini menyarankan agar kita mempelajari karya sastra (puisi, prosa, dan drama) para pengarang terkenal. Dalam hal ini para sastrawan harus memberikan contoh model penggunaan bahasa yang baik dan benar.

Bagaimanapun hebatnya pertentangan di antara penganut kedua paham ini, tetap tujuan akhirya adalah mempertahankan usaha meningkatkan penggunaan bahasa yang baik dan benar.


3. Empirisme dan Rasionalisme

Pada zaman Renaissance terdapat dua aliran yaitu Empirisme dan Rasionalisme. Penganut paham empirisme beranggapan bahwa manusia itu seperti kertas kosong (tabula rasa). Jiwa manusia akan kosong sebelum ada rangsangan yang lewat indera. Dalam belajar bahasa, manusia harus berinteraksi dengan lingkungannya. Bahasa harus dipelajari (learned) tidak semata-mata langsung dapat berbahasa. Hal ini bertentangan dengan paham rasionalisme. Kaum rasionalis percaya bahwa segala sesuatu itu pasti bias dirasionalkan, sehingga tidak mungkin terjadi sesuatu secara begitu saja. Menurut paham ini jiwa manusia tidak seperti kertas kosong, tetapi telah berbekal pemikiran-pemikiran yang logis. Dalam masalah bahasa penganut paham rasionalis beranggapan bahwa bahasa sudah ada dalam jiwa manusia sebagai pembawaan (innate).


4. Strukturalisme dan Gramatika Transformasi Generatif

Kontroversi keempat ini terjadi dalam abad kedua puluh, yaitu antara paham strukturalisme dengan para Cartesian Modern dengan paham Gramatika Transformasi Generatifnya. Konsep dasar kontroversi dari kedua paham ini terletak pada bagaimana sebuah bahasa disusun. Menurut paham strukturalisme, bahasa diibaratkan sebagaimana sebuah bangunan terdiri atas berbagai eleman penyusun, maka bahasa terdiri atas kalimat-kalimat yang berasal dari klausa-klausa; klausa-klausa tersebut dibangun dari frasa-frasa; frasa dibangun dari kata-kata; kata dibangun dari morfem-morfem; dan morfem dibangun dari fonem-fonem. Berdasarkan hal tersebut struktur gramatika yang diperkenalkan oleh paham ini terbatas pada gramatika struktur frasa (Phrase Structure Grammar). Untuk selanjutnya strukturalisme dalam linguistik selalu dihubungkan dengan Ferdinand de Saussure. Ferdinand de Saussure memperkenalkan gagasan-gagasan linguistik dengan diwarnai oleh berbagai macam dikotomi.

Sementara itu Chomsky salah satu dari kaum Cartesian Modern dengan paham Gramatika Transformasi Generatifnya menyatakan bahwa bahasa itu sangat rumit, tidak sesederhana sebagaimana yang dinyatakan oleh kaum strukturalis. Untuk mempelajari bahasa kita harus memisahkan sistem kognitif secara tersendiri, yaitu suatu system pengetahuan dan keyakinan yang berkembang sejak anak-anak, yang berinteraksi dengan factor-faktor lain untuk menentukan jenis perilaku kebahasaan (kompetensi). Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa menurut paham Gramatika Transformasi Generatif bahasa bukanlah learned melainkan innate.


5. Kontroversi Linguistik di Indonesia

Di Indonesia kontroversi linguistik terjadi antara kelompk yang percaya bahasa itu mempunyai fungsi transaksional dan kelompok yang percaya bahwa bahasa itu mempunyai fungsi interaksional. Fungsi transaksional dimaksudkan bahwa dalam suatu tindak komunikasi berbahasa yang dipentinkan adalah bagaimana agar daya pesan yang terkandung dalam suatu kalimat bias disampaikan dengan jelas tanpa salah. Pada fungsi ini lebih ditekankan bahasa tulisan. Sedangkan fungsi interaksional lebih mementingkan bahasa lisan. Fungsi interaksional adalah bahwa bahasa sekedar alat untuk berkomunikasi antaranggota sosial sehingga harus mempertahankan pentingnya hubungan sosial.

Pertentangan, perbedaan pendapat, ataupun sebuah kontroversi dalam hal ilmiah sudah barang tentu adalah hal yang sangat wajar terjadi. Kontroversi linguistik yang terjadi selama ini seharusnya menjadikan suatu tambahan khasanah keilmuan kita. Di kampus-kampus seperti Massachusetts Institut of Technologi (MIT), Harvard University, University of Illinois misalnya perbedaan pendapat dan kontroversi keilmuan diberi atmosfer akademik yang baik untuk menembangkan keilmuan masing-masing sehingga tercipta dinamika keilmuan yang sehat dan segar. Sementara itu di kampus-kampus kita hal seperti ini masih belum bisa tercipta dengan baik. Banyak yang belum membedakan bagaimana cara bernalar dari ketersinggunngan suatu kepentingan.

Menyikapi semua bentuk kontroversi di atas tampaknya kita harus benar-benar bisa berpikir secara lebih logis dengan nalar yang sehat. Sebagaimana diungkapkan oleh Abdul Wahab dalam Isu Linguistik Pengajaran Bahasa dan Sastra (2006) bahwa sebenarnya tidak perluterjadi pertentangan yang berlebihan antara satu dengan yang lain sebegaimana yang terjadi antara tatabahasan dan analis wacana.Mereka tidak perlu bertengkar sebab apa yang dituduhkan oleh para analis wacana tidak seluruhnya benar. Analis wacana tidak dapat mengabaikan sintaksis dan semantik sama sekali, karena analis wacana masih memerlukan analisis sintaksis dan semantik. Kontribusi sintaksis bagi analis wacana itu terutama terletak pada peranan hubungan klausa dalam suatu wacana. Hubungan klausa itu itu sangat membantu bentuk koherensi wcana yang tersusun dari komponen-komponen pikiran yang pada permulaan tidak logis.



3. DIKOTOMI MONGIN FERDINAND DE SAUSSURE

Aliran strukturalisme dalam linguistik dekat sekali dengan dikotomi-dikotomi yang disampaikan oleh Ferdinand de Saussure. Terdapat enam dikotomi yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure, yaitu: diakronik-sinkronik, langue-parole, significant-signifie, mental-fisik, bentuk-substansi, dan hubungan paradigmatik-hubungan sintagmatik. Di bawah ini pembahasan lengkap keenam dikotomi tersebut.

1. Diakronik dan Sinkronik

Kata diakronik dan sinkronik berasal dari bahasa Yunani, diakronik berarti sepanjang waktu, sedangkan sinkronik berarti bersama dalam satu waktu. Berdasarkan pengertian di atas jika dihubungkan dengan studi tentang kebahasaan, diakronik dapat diartikan belajar bahasa dari waktu ke waktu, sedangkan sinkronik dapat diartikan studi kebahasaan untuk waktu yang bersamaan. Simpulan yang diberikan oleh Ferdinand de Saussure adalah bahwa bahasa itu bias dilacak dari waktu ke waktu dan dipelajari untuk jangka waktu tertentu.

2. Langue dan Parole

Langue merupakan sistem bahasa dalam konteks sosial. Interaksi antaranggota elemen masyarakat atau lembaga sosial merupakan bagian dari fungsi bahasa. Dalam langue terjadi interaksi antara individu yang satu dengan individu yang lain dalam konteks sosial kemayarakatan. Sedangkan parole atau tindak berbicara cenderung bersifat kolektif dan individual. Parole bersifat kolektif jika mejadi milik makhluk sosial, tetapi bersifat individual jika mejadi individu. Dapat disimpulkan bahwa dalam sebuah langue bisa terdapat berbagai macam parole sesuai dengan jenis interaksi yang terjadi di dalamnya.

3. Signifiant dan Signifie

Signifiant adalah bentuk bahasa yang terkandung dalam sekumpulan fonem yang merupakan perwujudan akustik suatu bahasa. Signifiant merupakan wujud dasar sistem fonologi suatu bahasa. Sdangkan signifie merupakan kandungan mental atau citra mental suatu bahasa atau makna yang terkandung dalam bahasa.

4. Mental dan fisik

Berdasarkan tinjauan mental bahasa merupakan suat toatalitas pikiran dalam jiwa manusia. Sedangkan secara fisik bahasa adalah getaran udara yang terjadi melalui alat artikulasi manusia. Kondisi fisik dan mental seseorang senantiasa menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, maka dapat dipastikan jika bahasa pada dasarnya merupakan pertemuan antara totalitas pikiran dalam jiwa dan getaran yang dibuat menusia melalui alat-alat bicaranya.

5. Bentuk dan Substansi

Bentuk merupakan semacam sistem posisi dalam linguistik. Menurut Ferdinand de Saussure yang lebih penting dalam linguitsik adlah bentuk bukan substansi. Mengapa demikian? Karena nilai sebuah satuan linguistik benar-benar ditentukan oleh posisinya bukan substansinya. Satu unit saja yang berubah dalam sebuah bentukan, maka akan mengubah nilai atau makna satuan lainnya. Sebagai gambaran contoh adalah kalimat Ibu membeli seekor ayam kampung, ketika terjadi perubahan letak atau posisi unsur-unsurnya maka akan terjadi pergeseran makna yang cukup dramatik. Misalnya, pertukaran posisi subjek dan objek menjadikan kalimat Seekor ayam kampung membeli Ibu. Berdasarkan hal tersebut dalam dikotomi ini dinyatakan bahwa bentuk lebih penting daripada substansi dalam ilmu kebahasaan atau linguistik.

6. Hubungan Paradigmatik dan Hubungan Sintagmatik

Hubungan paradigmatik yang dimaksud dalam dikotomi ini adalah hubungan derivatif atau inflektif serangkaian bentuk jadian dengan bentuk dasar dari unit bahasa, sedangkan hubungan sintagmatik merupakan hubungan yang diperoleh jika satuan-satuan diletakkan bersama dalam satu tindak tutur atau tindak bicara. Sebagai suatu contoh hubungan paradigmatif adalah pembentukan kata berimbuhan, sedangkan contoh hubungan sintagmatik adalah jika sebuah kata atau kata jadian diletakkan dalam sebuah struktur kalimat.

Hubungan Paradigmatik :

me-N+sapu menyapu

me-N +cuci mencuci

me-N+suci menyuci

Hubungan Sintagmatik:

Ibu mencuci semua pakaian adik yang kotor itu.

Mereka berusaha menyucikan lantai masjid di daerah itu.



4. STRUKTUR SINTAKSIS

Sintaksis adalah kajian atau aspek linguistik tentang prinsip, proses, prosedur, membentuk frasa, klausa, dan kalimat. Berbeda dengan tata bahasa (grammar). Sedangkan gramatika ialah seperangkat kaidah yang jumlahnya terbatas yang dapat dipakai untuk membentuk kalimat yang tak terbatas jumlahnya. Beberapa aliran sintaksis yang dapat dikenal adalah aliran tradisional dan aliran strukturalisme. Struktur sintaksis merupakan kajian dari aliran strukturalisme. Sebelum mengupas berbagai struktur sintaksis, dalam pembahasan ini akan diuraikan terlebih dahulu dua jenis aliran di atas, yaitu aliran tradisional dan strukturalisme.

Aliran Tradisional

Aliran tradisional ini bersifat preskriptif bukan deskriptif. Yang dimaksud dengan preskriptif adalah memberikan resep sintaksis dari bahasa Yunani. Resep dari bahasa Yunani dan Romawi ini dipandang tidak cocok untuk mendiagnosis berbagai macam bahasa yang lain, seperti bahasa Indonesia, Inggris, atau bahasa Jawa sekalipun. Analisis secara preskriptif mengharuskan analisis bahasa seperti seharusnya. Sedangkan analisis deskriptif melakukan analisis bahasa secara apa adanya.

Contoh:

a. Kategori kata dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris berbeda. Sebagai misal kata ‘mati’ dalam bahasa Indonesia merupakan kata sifat, sedangkan dalam bahasa Inggris merupakan kata kerja.

b. Bahasa Indonesia: “Hujan”

Bahasa Inggris : “It is raining” bukan sekedar “rain”

c. Bahasa Inggris : “Go away”

Bahasa Jawa : “Lungaa!” (ngoko)

“Sampeyan kesah!” (kromo)

“Katuran tindak!” (kromo inggil)

Aliran Strukturalisme

Aliran ini dipelopori oleh Frans Boas, ia tidak mau mempelajari bahasa-bahasa Eropa karena dianggab bahwa bahasa-bahasa Eropa telah terkontaminasi oleh resep bahasa Yunani dan Romawi. Beberapa temuan Frans Boas dalam bidang linguistik adalah: (a) masing-masing bahasa mempunyai komunikan sendiri-sendiri, (b) tidak ada satu bahasa pun di dunia ini yang lebih lengkap, indah, sempurna dari bahasa lainnya, (c) masing-masing bahasa itu lengkap, indah, sempurna, dan terhormat bagi penutur aslinya. Pendekatan yang dipelopori oleh Frans Boas merupakan strukturalisme yang deskriptif artinya menganalisis bahasa sebagaimana apa adanya.

Dalam pendekatan strukturalis dikenal empat struktur sintaksis (four syntactic structures), yaitu struktur modifikasi, struktur predikat, struktur komplementasi, dan struktur koordinasi.

1. Struktur Modifikasi (Structure of Modification)

Setiap bahasa mempunyai struktur modifikasi yang berbeda. Susunan unsur-unsur penyusun sebuah frase antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain mempunyai perbedaan. Dalam struktur modifikasi ditentukan bahwa sebuah susunan kata yang berupa frasa mempunyai elemen dan symbol sebagaimana di bawah ini.

a. Unsur/Elements : Head Modifier

Inti Penjelas

D M

b. Lambang/Symbol : or

(bergantung pada posisi yang menerangkan dan posisi yang diterangkan)



c. Contoh : a beautiful girl

lampu pijar
sangat cantik

2. Struktur Predikat (Structure of Predication)

Strutur predikat adalah susunan kata-kata dalam bahasa yang memberikan penekanan pada unsur predikat. Elemen dan symbol yang dipergunakan adalah sebagaimana tertera di bawah ini.

a. Unsur/Elements : subject dan predicate

topic dan comment

onoma dan rema

subjek dan predikat

b. Lambang/Symbol : p or q

c. Contoh : Uang p belanja
Habislah q harapan mereka.

PENELITIAN KUANTITATIF

PENELITIAN KUANTITATIF


Dirumuskan kembali oleh: Agus Harianto, S.Pd.,M.Pd.


Pendahuluan

1. Pengertian Penelitian

Penelitian akan dilakukan jika terdapat suatu hal yang menyimpang dari suatu aturan atau norma yang berlaku secara umum. Penyimpangan tersebut menjadi sebuah stimulus untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada objek yang mengalami perbedaan dari garis atau alur ketentuan norma. Berdasarkan peristiwa itu akhirnya dilakukan proses pengumpulan bahan dan data tentang objek, menganalisis data tersebut dan pada akhirnya menarik simpulan tentang kondisi objek berdasarkan data tersebut. Proses pengumpulan data, menganalisis, dan menarik simpulan inilah yang merupakan penelitian.

2. Hasil-hasil Penelitian

Kegiatan penelitian dilakukan bukan karena tanpa sebab maupun latar belakang, oleh karena itu target penelitian sudah barang tentu berwujud hasil penelitian. Hasil penelitian tidak sekedar berupa paparan data atau uraian deskripsi tentang sebuah proses , tetapi harus merupakan sebuah konsep yang mengandung sebuah sistem atau formula atau formula. Konsep-konsep yang berasal dari generalisasi berbagai macam kasus/peristiwa merupakan hasil sebuah penelitian. Dengan demikian hasil penelitian bisa berwujud sebuah teori baru, pola, rumus, cara, dalil, system, atau penguatan teori. Mengapa harus demikian? Karena apapun yang terjadi di muka bumi ini tidak mungkin terjadi tanpa adanya sistem. Berangkat dari asumsi tersebut, maka hasil penelitian pun pasti akan/harus menghasilkan sebuah sistem atau pola yang lain.

3. Manfaat Penelitian

Penelitian diasumsikan mempunyai manfaat yang berharga. Dengan asumsi ini penelitian dikembangkan di setiap bidang disiplin ilmu, di steiap jenjang pendidikan tinggi. Bahkan di tingkat sekolah menengah pun, penelitian sederhana sudah diberikan. Tentu saja hal ini dilakukan dengan dasar-dasar yang benar dan akurat. Pada tingkat dasar dan menengah, dengan memanfaatkan konsep bahwa anak selalu ingin tahu, konsep pembelajaran telah diarahkan pada penemuan-penemuan (inkuiri) yang pada dasarnya merupakan sebuah penelitian. Proses pengembangan pengetahuan merupakan hierarki dengan posisi paling atas adalah peneliti. Peneliti berusaha menemukan konsep yang akan diklasifikasikan oleh seorang penulis. Hasil klasifikasi penulis inilah yang akan diaplikasikan oleh beberapa orang yang ada di lingkungan sekolah. Jadi terdapat hierarki peneliti, penulis, dan penerus konsep di sekolah.

Berdasarkan pemahaman tersebut sudah barang tentu penelitian merupakan suatu hal yang sangat penting perannya. Dengan demikian ketika kita melakukan penelitian akan sangat banyak manfaat yang dapat kita ambil. Dengan melakukan penelitian kita dapat meningkatkan peran kita menjadik lebih baik, tidak saja menjadi pemakai konsep tetapi juga menjadi pelaku penelitian. Untuk dapat menjadi seorang peneliti yang baik tentu saja kita harus mengetahui hasil-hasil penelitian. Kalau hasil penelitian kita pahami, diharapkan kita dapat menguasai dan mengembangkan system, serta melakukan system tersebut dengan baik.

Betapa pentingnya arti sebuah penelitian baik yang dilaksanakan secara terstruktur maupun tidak terstruktur. Penelitian kuantitatif dan kualitatif sudah barang tentu jelas manfaatnya. Dan penelitian tanpa rencana karena keingintahuan seseorang tentang suatu hal dalam kehidupan sehari-hari pun tidak bisa dikatakan tidak bermanfaat. Sehingga wajar jika materi penelitian ini diajarkan di setiap jenjang pendidikan, terutama pendidikan tinggi.



Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian

1. Masalah Penelitian

Dalam bidang penelitian masalah dianggap sebagai sebuah pertanyaan. Dari masalah inilah terjadi proses/kegiatan penelitian. Berdasarkan masalah itulah peneliti melakukan berbagai macam hal seperti menentukan tujuan, asumsi, hipotesis, pengumpulan data, sampai dengan pengumpulan data penarikan simpulan. Namun apakah sebenarnya yang ditanyakan dalam sebuah masalah penelitian? Hal yang ditanyakan dalam masalaha penelitian adalah sesuatu yang pada akhirnya akan menjadi hasil-hasil penelitian yaitu beripa system, pola, rumus, teori baru, penguatan teori, cara, dan dalil.

Bagaimanakah syarat-syarat masalah yang baik? Syarat-syarat yang baik dalam sebuah penelitian adalah meliputi beberapa hal yaitu: jangkauan kelogisan, dan memiliki variabel yang terukur. Contoh masalah yang dikatakan mempunyai ruang lingkup atau jangkauan kelogisan yang jelas adalah sebagimana tersebut di bawah ini.

Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Prestasi Belajar Mahasiswa Progam Studi Bahasa Indonesia Universitas Islam Malangtahun Akademik 2005/2006

Sedangkan penelitian dengan judul “Hubungan Era Globalisasi dengan Peningkatan PendidikanNasional” mempunyai ruang lingkup yang sangat luas dan sulit terjangkau.

Berbicara tenntang variabel penelitian, pada dasarnya variabel adalah sesuatu yang bervariasi.Variabel yang baik adalah variabel yang jelas dan dapat diukur. Sebagai contoh adalah jenis kelamin. Jenis kelamin adalah variabel yang dapat diukur. Terdapat laki-laki dan perempuan sebagai ukuran dari variabel jenis kelamin. Tetapi laki-laki dan perempuan bukan variabel karena tidak ada ukuran untuk itu. Misalnya, tidaknya mungkin terdapat laki-laki dengan ukuran sangat laki-laki, cukup laki-laki, atau bahkan kurang laki-laki, demikian pula pada kata perempuan. Kata kecantikan juga bukan merupakan sebuah variabel karena bersifat sangat relative. Jadi sebuah variabel yang baik harus terukur dan tidak bersifat relatif.

Antara variabel yang satu dengan variabel yang lain mempunyai hubungan. Hubungan antarvariabel dalam sebuah penelitian harus benar-benar jelas. Seorang peneliti harus melihat hubungan yang tergambar dalam rumusan masalah. Hubungan antarvariabel dalam masalah penelitian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu hubungan kausal dan hubungan korelasional.

Ciri-ciri hubungan kausal:
1. terjadi antara dua kelompok,
2. mempergunakan kata “pengaruh”,
3. bersifat discreet, dan
4. terdapat penyebaban di dalamnya.

Contoh: Apakah pengaruh jenis kelamin terhadap prestasi?

Ciri-ciri hubungan korelasional:
1. terjadi dalam satu kelompok,
2. mempergunakan kata “hubungan” atau “korelasi”,
3. bersifat kontinyu, dan
4. semakin begini semakin begini.

Contoh: Apakah hubungan kemampuan membaca dan menulis?


Hubungan korelasional tidak bisa dikausalkan karena tidak berbicara tentang sebab akibat. Maka janngan mempergunakan “pengaruh” atau jangan mengukur “pengaruh” dalam hubungan tersebut. Sebagai contoh hubungan yang salah adalah:

1. Apakah kemampuan menulis yang tinggi berpengaruh untuk menghasilkan kemampuan membaca yang tinggi pula?
2. Apakah faktor usia berpengaruh pada prestasi?


2. Tujuan Penelitian

Jika sebuah masalah dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, tujuan penelitian adalah bentuk pernyataan dari masalah. Dari rumusan masalah “Apakah pengaruh jenis kelamin terhadap prestasi?” dapat diubah menjadi tujuan penelitian “Penelitian ini bertujuan mengungkap pengaruh jenis kelamin dalam meraih prestasi”. Jadi antara rumusan masalah dan tujuan penelitian mempunyai inti yang sama, hanya redaksionalnya yang diubah sehingga tidak terjadi tumpang tindih bahasa.


Asumsi dan Hipotesis

1. Asumsi

Asumsi merupakan anggapan dasar yang dijadikan landasan/pijakan dalampenelitian. Sebuah asumsi harus mempunyai kebenaran aksioma, yaitu tidak diperlukan lagi proses pembuktian atau pembenaran. Berdasarkan asumsi inilah akan diturunkan berbagai alternative yang pada akhirnya harus dipilih untuk menjadi sebuah hipotesis. Pada masalah “Apakah jenis kelamin berpengaruh terhadap prestyasi?” bisa diambil asumsi bahwa jenis kelamin mempunyai pengaruh besar pada prestasi seseorang. Contoh lain sebuah asumsi adalah sebagaimana telah disampaikan di awal bahwa segala kejadian di muka bumi ini pasti bukan karena sebuah kebetulan melainkan sudah berdasarkan sebuah sistem.

2. Hipotesis

Hipotesis merupakan dugaan/prakiraan/jawaban sementara dari masalah. Penentuan hipotesis didasarkan pada asumsi yang dipergunakan. Hipotesis yang tidak mampu membedakan variabel merupakan hipotesis null. Pernyataan bahwa “tidak ada perbedaan pretasi antara mahasiswa laki-laki dan perempuan” merupakan hipotesis null, karena tidak membedakan variabel.

Tidak semua rumusan masalah mempunyai hipotesis. Hipotesis bisa terjadi dari masalah yang mempunyai dua variabel. Maka masalah yang terdiri atas satu variabel merupakan masalah yang tidak mempunyai hipotesis. Bagaimanakah hipotesis yang baik? Hipotesis yang baik adalah hipotesis yang bisa diuji.

Jenis-jenis hipotesis:
1. hipotesis theori,
2. hipotesis statistis, dan
3. hipotesis empiris

Hipotesis theori dan hipotesis statistik dipergunakan dalam penelitian kuantitatif, sedangkan hipotesis empiris dipergunakan dalam penelitian kualitatif. Dalam sebuah penelitian, hipotesis theori masih merupakan hipotesis yang belum bisa diuji sehingga harus diubah menjadi hipotesis statistik. Hipotesis statistik terdiri atas dua jenis hipotesis, yaitu hipotesis null dan hipotesis alternatif. Perhatikan contoh di bawah ini.

a. Masalah : Apakah pengaruh jenis kelamin terhadap prestasi?
b. Tujuan : Penelitian ini bertujuan mengungkap pengaruh jenis kelamin dalam meraih prestasi.
c. Asumsi : Jenis kelamin mempunyai pengaruh yang kuat pada prestasi seseorang.
d. Hipotesis :
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, hipotesis dapat diambil dari salah satu alternatif yang muncul dari asumsi yang dipergunakan. Berdasarkan asumsi di atas bisa dimunculkan hipotesis sebagaimana tersebut di bawah ini.

d.1 Laki-laki mempunyai kemampuan yang lebih baik daripada perempuan dalam meraih prestasi (XL>XP).
d.2 Perempuan mempunyai kemampuan yang lebih baik daripada laki-laki dalam meraih prestasi (XP>XL).

Pada saat menganalisis data, kita harus mempunyai cukup bukti untuk menolak terjadinya hipotesis null karena tidak mampu membedakan variabel.

Hipotesis Theori : (XL>XP)

Hipotesis Null

XL=XP
XL-XP = 0

Pada gambaran di atas hipotesis theori menyatakan bahwa prestasi laki-laki lebih baik daripada prestasi perempuan. Namun ternyata tidak didapatkan cukup bukti untuk menolak terjadi hipotesis null. Jika distatistikkan XL= 80 dan XP = 76, sedangkan patokan norma pembedanya adalah 5, maka:

XL-XP = 80 - 76
= 4

Belum dapat dikatakan membedakan variabel, namun jika XL= 85 dan XP = 75, maka

XL-XP = 85 - 75

= 10

dapat dikatakan membedakan dan cukup bukti untuk menolak hipotesis null.


Hiptesis d.1 dan d.2 di atas merupakan hipotesis alternatif. Terdapat dua jenis hipotesis alternatif, yaitu satu alternatif dan dua alternatif.

Contoh hipotesis satu alternatif :

Seorang guru mengajar sudah lebih dari sepuluh tahun dengan mempergunakan metode A. Ketika dikenalkan metode B sebagai metode baru, maka akan muncul satu pertanyaan, apakah metode B lebih baik daripada metode A ? Jawaban bahwa metode B lebih baik daripada metode A merupakan hipotesis satu alternatif.

Contoh hipotesis dua alternatif :

Seorang guru yang baru saja akan mengajar dihadapkan pada pilihan untuk mempergunakan metode A atau metode B. Muncul dua pertanyaan, apakah metode A lebih baik daripada metode B, ataukah metode B lebih baik daripada metode A ? Dua jawabnan dari dua pertanyaan tersebut merupakan hiotesis dua alternatif.

ETIKA BERKOMUNIKASI SEBAGAI BENTUK PRAGMATIK BERBAHASA

ETIKA BERKOMUNIKASI SEBAGAI BENTUK PRAGMATIK BERBAHASA


Agus Harianto

Kemampuan seseorang dalam berkomunikasi merupakan suatu hal yang tidak bisa dipaksakan harus terjadi secara sempurna. Ketidaksempurnaan ini disebabkan oleh banyak sekali faktor. Di antara faktor-faktor penyebabnya adalah beragamnya profil kemampuan pragmatik yang dimiliki oleh komunikan dan komunikator. Salah komunikasi bisa terjadi karena berbagai faktor pragmatik tersebut. Ketika seseorang melakukan kesalahan dalam tindak komunikasi, maka dapat dipastikan akan terjadi berbagai macam interpretasi yang salah yang menimbulkan terputusnya komunikasi. Salah satu factor yang harus diperhatikan dalam tindak komunikasi adalah maksim sopan santun. Etika yang baik dianalisis bisa membawa keberhasilan dalam komunikasi.

Kata Kunci: etika, komunikasi, pragmatik, bahasa, maksim, sopan santun



Pendahuluan

Kemampuan pragmatik yang harus dikuasai oleh seorang yang menjalin komunikasi dapat dipilah sebagai berikut: (1) memiliki kemampuan komunikatif, (2) mampu menerapkan prinsip kerjasama, (3) memiliki pengetahuan berbahasa, dan (4) mampu menyusun retorika berbahasa. Ketika seseorang menguasai keempat kemampuan tersebut dan menerapkannya dalam sebuah tindak tutur, akan tercipta komunikasi yang berkualitas sebagaimana yang diharapkan. Tetapi tentu saja masih harus diperhatikan bahwa dalam tindak komunikasi lisan yang terjadi antara dua orang atau lebih penguasaan kemampuan pragmatik tersebut haruslah secara dua arah bukan hanya searah.

Dalam bahasan ini akan kita bahas tentang tingkatan keberhasilan tindak tutur seseorang yang tidak pernah memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan kemampuan pragmatik tersebut. Sebagai sebuah contoh masalah adalah ilustrasu di bawah ini.

Ilustrasi 1:

Seseorang yang senantiasa membuat lawan bicara tersinggung dan sakit hati ketika berkomunikasi. Kadang sulit dibedakan kalimat yang seharusnya dipergunakan untuk bergurau atau untuk mengungkapkan sesuatu yang sebenarnya sangat serius. Ironisnya justru ia tidak merasa kalau telah melakukan kesalahan besar dengan menyakiti hati lawan bicara. Jika dilakukan penelitian tentang opini publik, maka ia akan mendapat penilaian yang sangat jelek atau sama sekali tidak mendapatkan nilai.

Ilustrasi 2:

Seseorang berbicara dengan sangat lantang dengan tidak memperhatikan kondisi akustik ruang dengan ludah menyemprot deras ke arah lawan bicara atau sebaliknya bersuara terlalu lemah sehingga tidak bisa didengar oleh lawan bicara. Hal ini masih diperparah dengan kondisi seakan-akan pembicara benar-benar menguasai materi yang dibicarakannya, padahal pada kenyataannya yang terjadi hanyalah sekedar bualan. Opini publik mengatakan orang ini mempunyai kelainan psikologis yang patut dikasihani.

Jika dianalisis dari sisi psikologis, maka akan didapatkan bahwa kondisi psikologis orang yang bersangkutan benar-benar dalam keadaan sangat memprihatinkan. Tidak layak untuk mendapatkan apresiasi positif. Tetapi jika tinjauan didasarkan pada sisi pragmatik tampaknya akan didapatkan sesuatu yang cukup luar biasa.


Kemampuan Retorika dalam Tindak Tutur

Dalam sebuah tindak komunikasi kemampuan retorika merupakan hal yang benar-benar mutlak harus diperhatikan sehingga tidak menimbulkan hal-hal yang bersifat ambigu. Ambiguitas makna dalam komunikasi berdasarkan retorika bisa terjadi karena unsur gramatika, logika, etika, dan unsur retorika. Salah satu unsur retorika dalam tindak tutur yang harus diperhatikan adalah maksim sopan santun. Maksim sopan santun memberikan tuntunan kepada semua orang untuk bisa berkomunikasi dengan baik dan sempurna sebagaimana yang dikehendaki dalam tujuan interaksi. Maksim sopan santun berkenaan dengan hubungan antara dua orang yang melibatkan orang ketiga (yang hadir secara langsung atau tidak langsung dalam interaksi).

Sebagaimana diuraikan oleh Geoffrey Leech (1993) dalam Prinsip-Prinsip Pragmatik, maksim sopan santun cenderung berpasangan. Di antara yang termasuk ke dalam maksimn sopan santun adalah maksim kearifan, maksim kedermawanan, maksim pujian, maksim kerendahan hati, maksim kesepakatan, dan maksim simpati. Leech (1993: 206-207) memberikan contoh dan batasan-batasan untuk maksim-maksim sopan santun sebagaimana terurai di bawah ini:

a. Karifan : Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin, dan buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin.
b. Kedermawanan : Buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin, dan buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin.
c. Pujian : Kecamlah orang lain sesedikit mungkin, dan pujilah orang lain sebanyak mungkin.
d. Kerendahan Hati : Pujilah diri sendiri sesedikit mungkin, dan kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin.
e. Kesepakatan : Usahakan agar ketaksepakatan antara diri dan orang lain terjadi sesedikit mungkin, dan  usahakan agar kesepakatan antara diri dan lain terjadi sebanyak mungkin.
f. Simpati : Kurangilah rasa antipati antara diri dengan lain hingga sekecil mungkin, dan tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri dan lain.

Berdasarkan uraian tersebut maka dikatakan bahwa tindak komunkasi yang telah terjadi berdasarkan ilustrasi 1 di atas jelas-jelas menyimpang dari maksim sopan santun. Dalam ilustrasi 1 tampak sekali bahwa maksim kerendahan hati dan maksim pujian telah dengan sangat sengaja ditinggalkan. Ketika salah satu dari keenam maksim di atas telah diabaikan maka sebenarnya telah terabaikan pula keenam maksim sopan santun tersebut. Pada akhirnya tanpa berpikir dengan logika yang berlebihan pun kita dapat menyatakan bahwa orang yang melakukan tindak tutur dalam ilustrasi 1 tersebut benar-benar acuh dan tidak pernah memperhatikan kepentingan orang lain. Maksim kerendahan hati telah diingkari dengan hanya memperhatikan kepentingan diri sendiri, mengecam orang lain, dan senantiasa membenarkan diri sendiri.

Sementara itu pada ilustrasi 2 tampak sekali adanya pengingkaran terhadap maksim kearifan. Seseorang yang senantiasa berpikir dan bertindak dengan penuh kearifan akan berbicara dengan mempertimbangkan bagaimana orang lain mendapatkan keuntungan bukan kerugian dari tindak tutur yang terjadi bersamanya. Ketika lawan bicara merasa sangat terganggu dan merasa tidak nyaman dalam proses komunikasi maka sebenarnya telah terjadi pengingkaran secara sepihak terhadap maksim kearifan. Terjadinya pengingkaran ini bisa disebabkan karena faktor gramatika yang meliputi fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Dalam kasus seperti pada ilustrasi 2 di atas unsur fonologis tampak nya menjadikan faktor utama penyebab terjadinya kasus tersebut. Hal tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi jika pelaku mempergunakan kaidah fonologis dengan kesadaran bahwa tatabunyi bahasa merupakan hal mutlak yang harus diutamakan dalam komunikasi lisan. Ketika pembicara menaikkan nada lebih tinggi atau secara monoton menggunakan nada yang relatif tinggi dan parau maka sudah terjadi interferensi terhadap makna dan etika sopan santun. Aspek fonologi dalam kasus ini berpengaruh terhadap interaksi sebagaimana dikonsepkan oleh (Leech, 1993:19) “... aspek-aspek fonologi yang berhubungan dengan pragmatik (misalnya menaikkan nada kalimat) untuk menunjukkan sopan santun berinteraksi langsung dengan pragmatik…”.

Dalam tindak komunikasi,penguasaan terhadap unsur-unsur retorika berbahasa memang sangat diperlukan. Ketika unsur-unsur retorika tersebut bisa dipahami dan dipergunakan dalam tindak tutur, dipastikan akan terjadi proses komunikasi yang baik sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Kemampuan retorika yang menjadikan semua tindak komunikasi berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan aspek-aspek metalinguistik sopan santun.

"Sopan santun tidak hanya terungkap dalam isi percakapan, tetapi juga dalam cara percakapan dikendalikan dan dipola oleh para pemeran sertanya. Misalnya, dalam percakapan, perilaku tertentu mengandung implikasi-implikasi tidak sopan, seperti berbicara pada saat yang keliru (menyela) atau diam pada saat yang keliru. Karena itu bila kita menuturkan sesuatu, kita kadang-kadang merasa perlu untuk menyebut tindak ujar yang sedang kita lakukan atau yang dilakukan oleh pemeran serta yang lain, supaya kita dapat memohon suatu jawaban, meminta izin untuk berbicara, meminta maaf atas kata-kata, dan sebagainya" (Leech, 1993: 219).

Konsep di atas tampaknya memang sudah menjadi sebuah fenomena sosial yang telah membudaya pada masyarakat kita (Indonesia), bahwa budaya mendengar kita tertinggal sangat jauh jika dibandingkan dengan bangsa Amerika. Maka ketika sering terjadi interupsi atau pemotongan terhadap pembicaraan seseorang sudah menjadi sesuatu yang sangat wajar. Bahkan hal tersebut pun juga terjadi juga di forum-forum ilmiah dan forum-forum kenegaraan. Karena merasa bahwa dirinyalah yang paling benar, dengan penuh ambisi dan anarkis sekali seseorang memotong atau menyela seorang yang sedang berbicara. Kedudukan moderator sebagai seorang pemandu diskusi kadang tidak dipedulikan lagi. Inilah fenomena yang terjadi di negeri ini yang lebih mengedepankan kemampuan berbicara daripada kemampuan mendengarkan orang lain. Hal ini pulalah yang telah memicu dengan terjadinya perlombaan besar-besaran untuk menjadikan diri sebagai orang hebat yang duduk di kursi legislatif.

Mengapa seseorang bertutur dengan penuh antusias dan merasa bahwa dirinyalah yang paling benar? Kejadian ini jelas tidak bisa dilepaskan dari bagaimana seseorang mempergunakan kemampuan gramatika, logika, etika, dan retorika berbahasa. Unsur etika dan retorika inilah yang sangat berperan dalam masalah ini. Jika seseorang memperhatikan apakah yang telah ia bicarakan memenuhi unsur kesantunan, keberterimaan, dan kesesuaian, maka dipastikan unsur retorika yang meliputi gagasan, komposisi, dan bahasa akan secara otomatis mendukung pencapaian tujuan komunikasi. Bagaimana mungkin gagasan yang telah dirancang dengan komposisi dan bahasa yang baik bisa diterima oleh pendengar atau lawan bicara jika kita menyampaikan tanpa memperhatikan unsur-unsur etika di atas?

Masalah yang senantiasa kita hadapi dalam tindak komunikasi adalah tidak adanya pola kerja sama yang baik antara pembicara dan pendengar. Komunikasi satu arah lebih sering terjadi darripada komunikasi dua arah yang lebih interaktif. Pada tataran komunikasi satu arah hanya terjadi perpindahan informasi tanpa ada tanggapan atau masukan baru bagi kita. Sedangkan pada tataran komunikasi dua arah tidak sekedar terjadi perpindahan informasi, tetapi juga terjadi pertukaran informasi yang memungkinkan terjadinya proses stimulus respon dalam bentuk tanggapan. Pada ilustrasi 2 di atas bisa saja terjadi dominasi komunikasi satu arah karena pembicara seakan-akan menguasai semua materi pembicaraan sehingga ingin menguasai proses komunkasi. Dalam kondisi seperti ini tidak terdapat penerapan prinsip kerjasama sebagaimana diungkap pada bagian awal tulisan ini. Pendengar hanya dianggap sebagai seseorang yang hanya patut untuk menerima sesuatu tanpa melihat sisi lain bahwa pendengar juga mempunyai hak dan mampu menyampaikan sesuatu. Hal ini merupakan salah satu bentuk bentuk hambatan dalam tindak tutur yang interaktif.

Lantas seperti apakah model komunikasi yang benar-benar mendasarkan penggunaan etika sebagai wujud pragmatik berbahasa? Jawaban paling sederhana adalah ketika kita mencoba untuk mengerti apa yang dikehendaki oleh orang lain sebagai lawan bicara. Untuk bisa mengerti apa yang sebenarnya dikehendaki lawan bicara kita bisa mempergunakan keenam dari maksim-maksim sopan santun, yaitu maksim kearifan, maksim kedermawanan, maksim pujian, maksim kerendahan hati, maksim kesepakatan, dan maksim simpati.

Kemampuan Berpragmatik Menunjukkan Kualitas

Selama ini terjadi pemahaman yang salah tentang bagaimana menafsirkan pengertian pragmatik. Pragmatik dianggap hanya sebagai salah satu kemampuan atau keterampilan berbahasa. Ketika sudah terjadi pergeseran pemahaman dan pengetahuan linguistik, pada akhirnya kita menyadari betapa luasnya kajian pragmatik. Pragmatik menjadi salah satu master kelimuan dalam ketatabahasaan. Kemampuan berkomunikasi dalam segala macam bentuk dan sifatnya tidak bisa dilepaskan dari kajian pragmatik. Sebagai dasar dalam tindak komunikasi maka sudah seharusnya pengetahuan tentang pragmatik dan kemampuan berpragmatik menjadi bagian dari keilmuan atau pengetahuan semua orang terutama yang berprofesi terkait dengan penyampaian informasi kepada khalayak, seperi dosen, guru, dokter, resepsionis sebuah hotel, dan lain-lain.

Beberapa masalah yang terjadi dalam eraglobal adalah rendahnya kualitas komunikasi yang menyebabkan terhambatnya perkembangan dan transfer keilmuan dan pengetahuan. Hal ini tentunya harus segera mendapat perhatian serius dari semua orang terutama para pakar komunikasi. Tentu saja penguasaan bahasa asing bukan satu-satunya penentu keberhasilan dalam ereglobal ini. Bagaimana teknik berkomunikasi yang benar, dengan retorika yang tepat, dan memperhatikan prinsip-prinsip pragmatik berbahasa inilah yang menjadi dasar utama terbentuknya kualitas komunikasi yang diharapkan.

Dalam keseharian kita sering bertutur kata dengan tidak memperhatikan ketepatan dan kebenaran tatabahasa yang kita pergunakan. Kadang terjadi kesalahan pemahaman terhadap sebuah konsep yang sering dipergunakan. Tetapi kesalahan pemahaman tersebut seakan tidak menjadikan sesuatu yang dianggap sebagai sebuah kesalahan. Hal ini sudah dianggap sebagai sebuah kewajaran yang tidak perlu diperdebatkan. Sebagai contoh adalah pemahaman terhadap konsep semantik dan sintaksis yang senantiasa menimbulkan kesalahan penafsiran makna (ambiguitas makna). Salah konsep ini sudah berkembang menjadi salah kaprah berbahasa yang diangap benar secara awam yang berdampak terhadap melemahnya kualitas komunikasi.

Ilustrasi 3:

Seseorang yang senantiasa berbicara dengan memberikan penekanan yang berulang-ulang pada bagian yang dianggap penting. Penekanan tersebut dilakukan dengan jalan memakai gaya bahasa perulangan baik yang bersifat anafora, repetisi, maupun paralelisme. Keyakinan akan kebenaran konsep yang disampaikannya dengan gaya bahasa perulangan seakan menyiratkan bahwa konsep dirinyalah yang paling tepat. Secara logika memang dapat dikatakan bahwa konsep yang disampaikannya benar, tetapi jika ditinjau dari sudut pandang yang sedikit saja berbeda sebenarnya konsep tersebut belum menunjukkan adanya kajian ilmiah yang dapat dikatakan valid.


Ilustrasi 3 di atas menunjukkan betapa penguasaan terhadap prinsip-prinsip pragmatik berbahasa yang lemah. Apakah tujuan komunikasi akan tercapai? Yang jelas dengan tingginya frekuensi gaya bahasa perulangan ini justru akan melemahkan kualitas komunikasi karena kejenuhan dan kebosanan yang dialami lawan bicara. Lawan bicara atau orang lain tidak didudukan sebagai orang yang harus dipuji dan diuntungkan tetapi justru mendudukan orang lain sebagai orang yang tidak mengerti tentang sesuatu hal. Ini berarti prinsip keindak ujaran arifan dan prinsip pujian masih belum diperankan sebagimana mestinya.

Semua hal di atas tentu saja tidak bisa dilepaskan dari kaidah atau maksim sopan santun atau tatakrama berbahasa. Hal ini terkait dengan pendapat yang disampaikan oleh Leech di atas. Di sisi lain Tarigan (1987: 89-90) meyatakan berdasarkan pengalaman sehari-hari kita mengetahui bahwa kesopansantunan bisa diwujudkan bukan hanya dalam isi percakapan, melainkan juga dalam cara mengelola percakapan serta strukturnya. Sebagai contoh adalah perilaku percakapan seperti berbicara pada saat yang salah (menginterupsi, menyela) atau diam tidak pada waktunya mempunyai implikasi-implikasi yang tidak sopan. Sebagai akibat kadang-kadang diperlukan acuan berupa keikutsertaan semua lawan bicara.

Pada akhirnya kita sampai pada sebuah simpulan bahwa metalinguistik perlu kita pergunakan sebagai penyiasatan dalam tindak komunikasi agar tercipta suatu bentuk komunikasi yang sebagimana diharapkan. Dengan mempergunakan metaliguistik sebagaimana yang dimaksud sangat dimungkinkan fleksibilitas akan menghasilkan suatu bentuk kebahasan yang lebih baik dan lebih bisa nwujudkan tujuan komunikasi.



KEPUSTAKAAN
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsi Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia.
Tarigan, Henry Guntur. 1987. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa

Como Baixar