Jumat, 10 Agustus 2012

Uji Kompetensi Guru

Ujian Kompetensi Guru merupakan bentuk pembinaan terhadap guru yang sudah berstatus guru bersertifikat pendidik yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Secara eksplisit dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen telah diamanatkan kebijakan pembinaan dan pengembangan profesi guru agar memiliki seperangkat pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang diaktualisasikan untuk menjalankan profesi mendidik. Meningkatnya kualitas kompetensi guru yang meliputi kompetensi profesional, pedagogi, kepribadian, dan sosial merupakan titik awal dari usaha memperkuat generasi penerus bangsa.


Agar pembinaan profesi ini berjalan secara efektif dan efisien maka diperlukan pemetaan kompetensi secara menyeluruh yang bisa menggambarkan kondisi objektif kompetensi, materi serta strategi pembinaan yang dibutuhkan oleh guru. Dengan demikian, Uji Kompetensi Guru (UKG) dilakukan untuk pemetaan kompetensi, Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan(PKB) dan sebagai entry point Penilaian Kinerja Guru (PKG). Berdasarkan hal tersebut maka bisa diasumsikan bahwa penyelenggaraan Uji Kompetensi Guru ini bukan untuk memutus/menghentikan pencairan tunjangan sertifikasi guru.

Berbicara perlu atau tidak perlu diadakannya Uji Kompetensi Guru, kita perlu menilik sudut pandangnya. Dari sudut pandang apa kita melihatnya. Menurut saya uji kompetensi ini tidak salah jika memang bisa dilaksanakan dengan baik. Dalam arti segala macam hal yang berkaitan dengan persiapan, pelaksanaan, sampai dengan pengambilan vonis atau simpulan harus bisa dilaksanakan dengan sangat baik dan tertata. Pelaksanaan Uji Kompetensi Guru dapat dipastikan membawa berbagai macam dampak baik positif maupun negatif. Jika kita senantiasa mengedepankan bagaimana meningkatkan kualitas diri untuk menunjang tugas-tugas pokok sebagai guru, dapat dipastikan tidak ada masalah sedikit pun dalam pelaksanaannya. Tentu saja dalam arti pelaksanaan secara teknis juga harus sudah siap dan tertata. Tetapi dalam kenyataannya kita bisa mengetahui dari berbagai media massa betapa heboh berita yang menyangkut uji kompetensi guru. Banyak sekali permasalahan teknis yang menjadi kendala pelaksanaan, belum lagi tingkat reliabilitas, validitas, dan kesahihan soal uji kompetensi. Pendapat umum yang beredar di masyarakat pada akhirnya adalah adanya kesan bahwa Uji Kompetensi Guru terkesan tergesa-gesa atau sebuah proyek dadakan.

Dari sisi lain, jika memang harus mengadakan pemetaan kompetensi guru, apakah bisa dijamin hasil akhirnya mampu menggambarkan kemampuan sebenarnya dari para guru? Mengukur kemampuan seseorang tentu saja harus sesuai dengan apa yang menjadi kompetensi umum dan spefisiknya. Demikian pula dengan mengukur tingkat kompetensi guru meliputi kompetensi profesional, pedagogi, kepribadian, dan sosial tentu saja harus dengan alat ukur yang benar-benar mampu memberikan data valid eksistensi kompetesi guru. Bisakah kompetensi guru diukur hanya dengan test kognisi? Bagaimana kemampuan guru di lapangan yang sebenarnya? Tidakkah faktor keberuntungan dalam menjawab soal juga sangat berpengaruh?

Sebagai sebuah ilustrasi, di sekolah X terdapat seorang guru yang mempunyai loyalitas dan dedikasi kerja yang sangat bagus. Tingkat kompetensi dan kematangan keilmuannya bisa diwujudkan dalam lulusan siswa yang bagus. Hasil karya tulis dan aktivitas pembinaan terhadap siswa tidak diragukan, bahkan juga sedang atau telah menempuh pendidikan di tingkat pascasarjana yang linier di bidangnya. Ketika mengikuti uji kompetensi ternyata guru mendapat skor/nilai yang kurang memuaskan bahkan tidak memenuhi target kelulusan. Sementara itu guru Y adalah guru dengan tipe yang sangat jauh bertolak belakang dengan guru X, justru mendapat nilai/skor yang melebihi target pencapain. Walaupun bidang studi yang diampu kedua orang guru ini berbeda tetapi bisa dipastikan guru X akan mengalami depresi/pukulan psikis yang parah. Guru X bisa saja merasa tertekan dan malu terhadap semua orang dan bisa saja berpengaruh terhadap kondisi psikisnya di hadapan para siswa. Nah apakah hal ini tidak mendapat perhatian lebih dari pemegang kebijakan. Jadi walaupun uji kompetensi ini tidak untuk memutus tunjangan kesejahteraan ada baiknya juga ditinjau dari sisi pelaksanaannya. Kenapa tidak membentuk tim yang benar-benar bisa dihandalkan saja langsung turun lapangan untuk meninjau langsung bagaimana kinerja dan kompetensi guru-guru Indonesia?

Jika disimpulkan maka uji kompetensi guru tetap sangat diperlukan tetapi bentuknya yang harus dicarikan format yang lebih mapan bukan hanya mementingkan masalah gengsi dan kemajuan teknologi melalui UKG online yang pada kenyataannya justru banyak sekali menemui kendala. Jika anggaran yang diperlukan untuk uji kompetensi secara online bisa dikomparasikan dengan pembentukan tim ahli yang langsung turun ke lapangan tidak terlalu berbeda jauh, mengapa tidak membentuk tim supervisi saja? Pemborosan anggaran dan beban psikis guru harus mendapat perhatian agar tidak menimbulkan efek negatif dari segala sisi. Pada kenyataannya di lapangan pembayaran tunjangan kesejahteraan guru di masing-masing daerah pun sangat bervariasi sesuai dengan kebijakan daerah. Bahkan bisa terjadi tunjangan yang seharusnya dibayarkan 12 bulan dalam setahun hanya dibayarkan beberapa bulan saja. Sementara itu tuntutan profesi dan beban moral guru sudah demikian besarnya belum lagi klaim dari unsur lain bahwa tidak layak guru mendapat TPP karena beban kerjanya lebih ringan dibandingkan pegawai dari dinas lain. Tetapi memang guru harus bersyukur dengan terus meningkatkan kualitas diri dan kualitas kinerjanya.

Persiapan? Pendeknya waktu pemberitahuan pelaksanaan uji kompetensi menjadikan tidak mungkin melakukan persiapan secara matang. Luasnya materi yang disajikan melalui kisi-kisi soal tidak mungkin bisa dikuasai secara total dan sempurna kecuali guru yang bersangkutan mempunyai tingkat intelegensi yang sangat tinggi (genius). Untuk persiapan mengikuti uji kompetensi Bahasa Indonesia, memang saya berusaha membaca buku-buku ajar Bahasa Indonesia, pembelajaran inovatif, dan membedah kisi-kisi soal. Tetapi yang bisa dilakukan dengan kisi-kisi hanya mencari gambaran karena luasnya materi. Selanjutnya saya menyerahkan kepada kebesaran Tuhan untuk apapun yang akan saya dapatkan dan berapa pun skor/nilai yang saya dapatkan. Sebagai gambaran lain, bagaimana guru bidang studi Biologi di SMA harus mempersiapakan diri mengikuti uji kompetensi guru IPA terpadu yang secara otomatis harus mempelajari Fisika dan Kimia, di samping Biologi yang diampunya? Satu lagi pelaksanaan yang bertahap ini sangat memungkinkan peserta pada tahap terakhir akan mendapatkan nilai yang lebih tinggi karena sudah mendapat informasi dari teman lain.

Tentu saja pada akhirnya saya berharap hasil pemetaan kompetensi melalui UKG ini terlepas dari valid tidak valid data yang didapatkan harus dapat dijadikan sebuah referensi untuk pembinaan kualitas guru di Indonesia. Pemberian penghargaan dan pembinaan kepada guru harus benar-benar dilakukan bukan sekedar sebuah ajang percobaan belaka. Selama ini guru terkesan senantiasa menjadi kelinci percobaan. Perubahan-perubahan peraturan tentang penyelenggaran sertifikasi guru yang terus berlanjut menjadikan tekanan yang kadang berlebihan bagi guru. Secara pribadi saya berharap agar upayapeningkatan kualitas guru ini juga benar-benar diimbangi dengan niatan memberikan kesejahteraan yang memadai tanpa disertai dengan ‘embel-embel’ apapun yang justru memperuruk keadaan.









Metode Diskusi Kelompok

Banyak sekali model pembelajaran yang dapat dipilih dalam pembelajaran bahasa. Dari sekian banyak model pembelajaran menarik yang ditawarkan metode diskusi kelompok merupakan satu di antara sekian model yang sangat menguntungkan dalam pembelajaran bahasa. Model pembelajaran dengan menerapkan diskusi kelompok ini ternyata lebih efektif dan efisien dalam proses kognitif dan keterampilan berbicara dalam belajar bahasa di berbagai tingkat. Selain itu model diskusi kelompok berlaku secara umum. Artinya, sebagian dari model-model itu dapat dipakai dalam rangka proses pembelajaran dengan menyesuaikannya terhadap konteks pembelajaran, dan sebagian dapat dipakai dalam rangka pertemuan di luar proses pendidikan formal. Khusus untuk suasana pendidikan formal yang menitikberatkan pada proses pembelajaran.


Kekuatan dan keuntungan model diskusi kelompok dalam pembelajaran bahasa di tingkat menengah dapat disampaikan sebagai berikut.

1. Sesuai dengan hakikat belajar bahasa. Berbahasa adalah berbicara. Orang yang pandai berbahasa artinya orang yang pandai berbicara. Pandai menulis, membaca, dan menyimak tidak biasa disebut pandai berbahasa.

2. Pelatihan berdiskusi dalam pembelajaran bahasa dimulai dengan membaca sumber bahan yang akan didiskusikan, menulis yang diperlukan sebagai catatan untuk dibicarakan, bahkan menulis teks bahan berbicara.

3. Dalam proses diskusi setiap peserta berperan juga sebagai pendengar bahkan penyimak. Sambil berbicara pembicara dalam diskusi perlu penyimak respons pendengar lain. Artinya seorang pembicara yang baik seharusnya juga pandai menyimak. Oleh karena itu model diskusi kelompok merupakan pembelajaran bahasa terintegratif.

4. Aspek pendidikan nilai dalam diskusi kelompok dapat dikembangkan. Berbicara dengan kontrol diri. Pembicara perlu menahan diri bila aspek emosi terusik. Pembicara perlu menahan diri untuk tidak melakukan monopoli bicara. Pembicara perlu memperhatikan kasantunan bicara. Penyimak perlu bersabar memperhatikan pembicaraan peserta diskusi lain. Penyimak terus menerus berpikir untuk menyaring informasi yang manarik perhatiannya, yang penting, yang relevan dengan kebutuhannya. Kemahiran berpikir penyimak dikembangkan, kareka penyimak mencoba mela-kukan analisis: menghubungkan, membandingkan, membedakan, memilah, memilih, mencocokan dengan pengetahuan yang telah dimilikinya.

5. Pembicara yang baik adalah pembicara yang pandai mendengarkan, menghargai pemikiran dan pendapat penutur lain, sikap toleran bila ada pendapat atau pemikiran yang tidak sesuai dengan pemikirannya sendiri.

6. Nilai didik yang dapat dikembangkan melalui model diskusi kelompok itu adalah kesantunan, toleransi, demokratis, menghargai pendapat orang lain, terlaihnya kemampuan menahan diri, meningkatnya kecerdasan, dan terlatihnya pembelajaran bahasa yang terintegratif.

Berdasarkan uraian di atas sangat tepat jika model pembelajaran dengan penerapan metode diskusi kelompok meruapakan dijadikan alternatif pilihan utama dalam pembelajaran bahasa.



Diluar luar hal tersebut tentu saja tidak bisa dipungkiri bahwa setiap jenis model pembelajaran dengan metode-metode tertentu sangat mungkin mengandung beberapa titik kelemahan. Demikian juga dengan metode diskusi kelompok yang akan sangat efektif jika diterapkan dalam kondisi sebagian besar siswa dalam kelompok tersebut mempunyai keterampilan berbicara yang memadai, dalam arti mempunyai kemampuan untuk berdebat. Pembelajaran akan berjalan dengan tertata sesuai dengan skenario pembelajaran yang dirancang guru jika penguasaan keterampilan berbicara dan kematangan psikis (mental) pembelajaran sangat bagus. Tetapi model pembelajaran ini justru akan menjadi bumerang bagi guru jika kondisi kelas tidak mendukung. Kondisi yang tidak mendukung ini memang tidak hanya terjadi karena tingkat keterampilan berbicara para pembelajar yang rendah teteapi bisa pula disebabkan oleh hal lain di luar diri pembelajar, di antaranya adalah bagaimana penguasaan pembelajar atau peserta diskusi terhadap materi yang sedang didiskusikan. Dalam hal ini ketersediaan bahan diskusi menjadi faktor utama penentu keberhasilan pembelajaran yang mempergunakan model pembelejaran dengan metode diskusi kelompok.

Beberapa hal lain yang merupakan kelemahan dari metode diskusi kelompok adalah sebagaimana diuraiakan di bawah ini.

1. Sering terjadi pembicaraan dalam diskusi dikuasai oleh dua atau tiga orang siswa yang memiliki keterampilan berbicara sangat bagus, sehingga siswa yang lain sangat pasif.

2. Kadang pembahasan dalam diskusi menjadi meluas, sehingga kesimpulan menjadi kabur.

3. Memerlukan waktu yang cukup panjang, yang kadang-kadang tidak sesuai dengan yang direncanakan.

4. Dalam diskusi sering terjadi perbedaan pendapat yang bersifat emosional yang tidak terkontrol. Akibatnya, ada pihak yang merasa tersinggung, sehingga dapat mengganggu iklim pembelajaran yang sehat di kelas.

Lepas dari kelemahan dan kelabihan di atas yang jelas model pembelajaran dengan menerapkan metode diskusi kelompok dapat dikatakan merupakan salaha satu alternatif pilihan metode pembelajaran yang bisa direferensikan dalam pembelajaran bahasa.



Selasa, 15 Mei 2012

Polemik Berbahasa dalam Tindak Komunikasi Lisan

Oleh: Agus Harianto, M.Pd. Susah memulai pembicaraan sering dialami oleh sebagian besar orang. Kesulitan berbicara ini menjadi semakin parah manakala kita harus berbicara dalam forum-forum resmi seperti seminar, diskusi umum, simposium, dll. Kondisi seperti ini memang merupakan sebuah bentuk gangguan dalam tindak komunikasi berbahasa. Jika kondisi seperti ini kita biarkan berlarut-larut maka dapat dipastikan kemampuan kita untuk berkomunikasi semakin parah. Tentu saja harus harus ada sebuah solusi yang tepat agar kita dapat melakukan tindak komunikasi tersebut dengan baik. Gejala-gejala seperti rasa takut untuk memulai pembicaraan, rasa khawatir tata bahasa yang dipergunakan salah, rasa malu dan tidak percaya diri di hadapan banyak orang menjadikan salah satu faktor penyebab gagalnya tindak komunikasi berbehasa lisan ini. Bisa saja terjadi seseorang mempunyai kemampuan yang hebat dalam tindak komunikasi tulis. Hasil karya tulisnya diakui mempunyai nilai dan kualitas yang tidak bisa dianggap remeh, tetapi ketika harus menyampaikannya di hadapan banyak orang secara lisan, justru ia tidak mempunyai kemampuan sama sekali. Sangat dimungkinkan bahwa hal ini terjadi karena seseorang tidak mempunyai kepercayaan diri yang bagus di hadapan banyak orang. Sangat mungkin terjadi dalam sebuah forum diskusi resmi sepi dari pertanyaan dan perdebatan karena sedikit sekali dari audience/peserta diskusi yang terlibat secara aktif dalam forum tersebut. Banyak peserta yang hadir dalam forum tersebut hanya sebagai simpatisan pasif belaka. Kehadiran mereka kadang hanya untuk memenuhi tuntutan formalitas saja. Mungkin saja kehadiran mereka hanya untuk mendapatkan sertifikat, agar dianggap intelek karena hadir dalam forum akademis yang bergengsi, atau karena tuntutan absen tugas belaka. Kalau kita perhatikan dalam setiap seminar yang dihadiri oleh ratusan bahkan lebih dari seribu orang, sebagian besar dari mereka benar-benar hanya untuk kepentingan salah satu dari yang telah diuraikan di atas. Kesalahan sangat fatal yang dilakukan oleh seorang yang sedang dalam tindak komunikasi berbahasa adalah ketika membiarkan dirinya tidak tahu sama sekali apa yang menjadi topik pembicaraan dalam tindak komunikasi tersebut. Apakah salah salah jika hal ini dianggap sebagai sebuah sebuah kejahatan berbahasa? Banyak pernyataan yang bisa dipakai untuk menjawab pertanyaan tersebut. Ketika tindak komunikasi berjalan dengan baik, maka akan tercapai tujuan komunikasi yang jelas. Ketika tindak komunikasi tidak berjalan dengan baik, maka terjadilah salah penafsiran/salah pengertian (miss-understanding). Kesalahan menafsirkan hasil sebuah tindak komunikasi (dalam satu bahasa) dipastikan akan menimbulkan banyak sekali masalah yang bisa mengganggu keharmonisan hubungan sosial sosial dalam masyarakat dalam arti luas. Untuk memperdalam masalah ini kita harus mengkaji sosiolinguistik. Dalam sebuah diskusi ilmiah dan sejenisnya dimungkinkan akan terjadi kesalahan interpretasi terhadap apa yang sedang menjadi bahan pembicaraan. Kesalahan interpretasi ini bisa dihindari dengan meminimalkan hambatan-hambatan komunikasi baik yang bersifat fisik maupun psikis. Jika dikategorikan hambatan-hambatan komunikasi ini terjadi sebagian besar disebabkan oleh faktor psikis bukan faktor fisik. Banyak komunikan yang mempunyai kelainan fisik (invalid) yang berhubungan dengan artikulator, tetapi mempunyai kemampuan yang hebat untuk melakukan tindak komunikasi. Sementara banyak sekali komunikan yang mempunyai kesempurnaan fisik justru tidak mampu berkomunikasi dengan baik hanya karena masalah-masalah yang berkaiatan dengan psikis. Dengan kalimat lain sebenarnya hambatan paling besar justru terletak pada kondisi psikis masing-masing individu. Ketika seorang individu sudah berniat mengikuti sebuah komunikasi resmi di forum-forum ilmiah sudah seharusnya ia mempersiapkan psikisnya untuk terlibat secara aktif dalam tindak komunikasi tersebut. Keterlibatan tersebut akan menjadikan rasa percaya pada diri sendiri semakin kuat dan kokoh. Tetapi jika keterlibatan kita dalam tindak komunikasi tersebut hanya secara fisik tanpa melibatkan segala unsur emosi dan psikis kita, bisa dipastikan akan terjadi hambatan komunikasi yang sangat kuat mengganjal jalannya komunikasi. Menyikapi hal ini maka sudah selayaknya para komunikan mulai berpikir dengan jernih bahwa keterlibatan emosional dalam sebuah tindak komunikasi resmi dalam forum ilmiah merupakan suatu faktor penentu keberhasilan kemonukasi yang sangat menguntungkan semua pihak. Selanjutnya apabila secara fisik dan psikis sudah bisa terlibat, maka langkah selanjutnya yang harus ditata adalah langkah-langkah teknis dalam tindak komunikasi. Beberapa hal yang bisa dilakukan secara teknis dalam komunikasi adalah memperluas wawasan yang berkaitan dengan materi pembicaraan, mengikuti seluruh pembicaraan dengan cermat, membuat catatan pokok isi pembicaraan, dan membuat rangkuman pembicaraan. Dengan melakukan hal teknis ini bisa dipastikan akan tercapai tujuan komunikasi. Jika secara teknis sudah kita lakukan dapat dipastikan keterlibatan kita dalam tindak komunikasi yang dimaksud akan total. Totalitas keterlibatan kita dalam tindak komunikasi tersebut akan mampu meningkatkan kualiutas komunikasi. Dalam kegiatan berbahasa lisan memang banyak faktor yang harus diperhatikan di samping faktor-faktor kebahasaan seperti tata bahasa, pelafalan, atau penggunaan kosa kata yang tepat. Faktor-faktor non-kebahasaan ini antara lain adalah masalah sopan santun berbahasa. Kepantasan seseorang dalam berkata-kata terutama dalam forum-forum resmi kadang kala tidak mendapat perhatian yang sungguh-sungguh. Sering kita dengar seseorang berbicara dengan mempergunakan kata-kata yang cenderung tidak intelek (baca: gaul) karena menirukan gaya bicara seorang selebritis. Penggunaan kata “aku” dalam forum ilmiah sudah tentu merupakan bentuk kebodohan yang dilakukan oleh penutur. Sebagai ilustrasi adalah kalimat-kalimat ragam lisan berikut. “Kalau menurut aku, pendapat itu tidak dapat kubenarkan” “Suami aku tidak ...”. “Pendapat aku, maaf tidak bisa aku ...” Di samping menunjukkan rendahnya kompetensi berbahasa seseorang, hal tersebut bisa saja memang menunjukkan sikap mental penutur yang cenderung meniru tanpa memperhatikan kepantasan atau bahkan etika dan sopan santun dalam tindak komunikasi. Tarigan (1987: 89-90) menyatakan berdasarkan pengalaman sehari-hari kita mengetahui bahwa kesopansantunan bisa diwujudkan bukan hanya dalam isi percakapan, melainkan juga dalam cara mengelola percakapan serta strukturnya. Sebagai contoh adalah perilaku percakapan seperti berbicara pada saat yang salah (menginterupsi, menyela) atau diam tidak pada waktunya mempunyai implikasi-implikasi yang tidak sopan. Lantas bagaimanakah sikap yang baik sebagai seorang yang terlibat dalam tindak komunikasi resmi dalam forum-forum ilmiah? Tentu saja sikap yang baik adalah mengikuti dengan aktif segala bentuk komunikasi dengan memperhatikan keterlibatan fisik dan psikis serta pertimbangan teknis dengan benar. Begitu kita mengambil keputusan untuk mengikuti sebuah bentuk kegiatan komunikasi forum resmi seperti seminar, maka sudah harus disiapkan pula fisik dan psikis. Dengan demikian kita akan dapat ambil bagian dengan sempurna dalam tindak komunikasi tersebut. Hal lain yang harus diperhatikan adalah bahwa dalam tindak komunikasi, penguasaan terhadap unsur-unsur retorika berbahasa memang sangat diperlukan. Ketika unsur-unsur retorika tersebut bisa dipahami dan dipergunakan dalam tindak tutur, dipastikan akan terjadi proses komunikasi yang baik sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Kemampuan retorika yang menjadikan semua tindak komunikasi berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan aspek-aspek metalinguistik sopan santun."Sopan santun tidak hanya terungkap dalam isi percakapan, tetapi juga dalam cara percakapan dikendalikan dan dipola oleh para pemeran sertanya. Misalnya, dalam percakapan, perilaku tertentu mengandung implikasi-implikasi tidak sopan, seperti berbicara pada saat yang keliru (menyela) atau diam pada saat yang keliru”(Leech, 1993: 219). Masalah sopan santun inilah yang kurang mendapat perhatian dari sebagian besar pelaku tindak komunikasi resmi. Kebiasaan berbicara dengan tidak memperhatikan kaidah sopan santun berbahasa ini menjadi sebuah bentuk pengingkaran aturan tata komunikasi resmi. Pengingkaran terhadap aturan tata komunikasi resmi pada akhirnya menjadi sebuah pembiasaan perilaku yang dianggap benar. Jika hal ini terus-menerus terjadi maka sangat dimungkinkan akan terjadi pergeseran norma komunikasi. Mungkin juga akan terjadi melemahnya kualitas komunikasi resmi dalam bentuk sulitnya membedakan bentuk komunikasi resmi tidak resmi. Menyikapi hal tersebut, sangat tidak salah jika sebagai penutur asli bahasa Indonesia, senantiasa memperhatikan bagaimana kita bisa terlibat secara aktif dalam komunikasi resmi secara baik dan benar. KEPUSTAKAAN Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik.Jakarta: Universitas Indonesia. Tarigan, Henry Guntur. 1987. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa

Rabu, 15 Februari 2012

Antara Matahari Rembulan dan Laut

Kapankah matahari akan memeluk rembulan...
Di manakah rembulan tersenyum pada matahari...
Mengapa matahari menjadi salju ketika rembuan tersenyum...
Bagaimana laut sat melihat matahari mencium
rembulan...
Ketika rembulan tersenyum pada matahari,
matahari hanya dapat menatap dari cakrawala...
Sementara laut menyimpulkan kemenangan
Kadang matahari bimbang dengan panasnya
Masihkah bulan memantulkan cahayanya ke laut?
Kadang matahati menyesal dengan kuasanya
Mengapa harus dia bakar laut untuk menjadi hujan
Kadang rembulan pun pudar senyumnya
Dalam gemerlap matahari

Esai Sastra

FATAMORGANA CINTA
Ulasan cerpen Misi Kuping Oranye karya Rosandra
Oleh: Agus Harianto, M.Pd.

Pengalaman masa silam yang membentuk kepribadian seseorang kadang merupakan sebuah bentuk fatamorgana yang sulit sekali dihilangkan. Berbagai bentuk kenangan menyatu, tumpang tindih dengan permasalahan-permasalahan yang sangat kompleks menjadikan sulit sekali untuk memetakan fatamorgana tersebut. Dampak dari hal tersebut adalah betapa susah mewujudkan kembali fatamorgana menjadi sesuatu yang lebih realis dan lebih hidup. Apa yang kita rasakan pada masa silam kadang merupakan bentukan dari butir-butir cinta yang kian menghijau. Bisa saja di tengah perjalanan menjadi menguning dan tidak pernah membulirkan butir-butir realita dari cinta tersebut.
Misi Kuping Oranye yang ditulis dengan gaya realis dan sederhana cenderung membawa kita pada pengalaman diri sendiri di masa lampau. Gaya bahasa yang menarik, penuturan yang bersifat apa adanya dapat memicu kesemangatan untuk terus menkmati kepenasaran kita terhadap alur ceritanya. Memang terdapat beberapa gaya bahasa yang memerlukan eksploitasi otak kanan kita. Tetapi secara umum pengarang ingin mengajak kita pada kesederhanaan bercerita atau mungkin bercinta.
Lantas apa yang ingin disampaikan secara tersirat dalam kisah ini? Sudah pasti dan dengan mudah bisa kita tebak adalah kata “cinta”. Rosandra menyatakan betapa cinta itu adalah sebuah bentuk cita-cita. Untuk menggapainya diperlukan perjuangan yang serius. Tidak mungkin cita-cita tersebut bisa kita raih tanpa mengorbankan banyak hal. Tokoh utama sebagai simbol pengejawantahan perjuanngan bebar-benar total dalam memperjuangkan semuanya. Sebuah misi yang dia beri nama Misi Kuping Oranye ditatanya dengan perhitungan yang matang. Alhasil...dia tidak peduli dengan hasil akhirnya.
Apakah hal ini merupakan ekspresi gaya hidup yang memang harus senantiasa disesuaikan dengan tuntutan zaman? Tentu saja hal tersebut sangat bergantung pada kondisi psikologis tokoh atau justru pembaca. Kemudian apakah bisa kita kembalikan pada diri kita masing-masing sebagai unsur pengembangan kepribadian manusia? Berdasarkan hal itu sangat mungkin kita bisa melakukan negosiasi dengan diri sendiri bahwa masa lalu itu membentuk diri kita sendiri atau tidak. Ataukah masa lalu itu tidak memberikan konstribusi apapun dalam kehidupan kita selanjutnya.
Seperti kita ketahui, semua orang mempunyai visi dalam hidupnya. Masalahnya kita tidak tahu apakah visi tersebut ditindaklanjuti dengan membentuk misi-misi yang tepat? Ketika semua orang mempunyai cita-cita, ketika semua orang berusaha untuk meruntuhkan egoistis diri, ketika semua orang mulai menghancurkan argumen-argumen keakuannya, maka di situlah mulai tertata/terbentuk sebuah penyadaran diri yang harus segera ditangkap menjadi konsep-konsep penyadaran diri yang utuh. Seperti itukah yang dimaksudkan Rosandra melalui tokoh-tokohnya, Will dan Atan?
Will dan Atan sebagai tokoh-tokoh sentral dalam Misi Kuping Oranye menggambarkan betapa rumitnya seseorang dengan segala macam bentuk variasi kehidupannya. Will bisa saja gagal dengan misinya, tetapi siapa sangka justru dia dimenangkan oleh misi lain yang diskenariokan oleh Atan yaitu Misi Bocah Sariawan. Demikian pula implikasinya dalam keseharian, banyak kegagalan yang kita alami sebagai manusia sosial. Tetapi marilah kita mengingat kembali berapa banyak unsur tiba-tiba atau ketidaksengajaan yang justru dapat mengangkat diri kita sebagai makhluk sosial yang lebih bermartabat?
Dengan gaya bercanda, pengarang mampu mengeksploitasi nilai-nilai individualisme menjadi nilai sosial yang luar biasa. Coba saja kita lihat, bagaimana sikap Will dan Atan ketika harus menolong seorang Ibu yang akan melahirkan anakanya? Sudah jelas kita akan membayangkan betapa meraka akan ‘kocar-kacir’ dibuatnya. Tetapi sikap dewasa Atan ternyata mampu membuat semuanya menjadi lebih baik. Si Ibu tertolong, dan Will merasa menjadi gadis yang jauh lebih feminin dari sebelumnya.
Sebagaimana cerita-cerita pada umumnya, kita bisa menebaknya pasti Will dan Atanakan bersatu. Tetapi paling tidak kita bisa melihat dari sisi psikologis bukan hanya dari sisi alurnya. Memang alurnya sederhana sebagaimana layaknya sebuah cerpen. Konflik dan klimaknya pun terkesan biasa saja dan cenderung ditata dengan kesengajaan. Kesengajaan menata alur dalam proses kreatif cipta sastra adalah hal yang ‘lumrah’ terjadi. Semua pengarang fiksi pasti akan memuat banyak sekali kesengajaan untuk menciptakan alur. Alur yang ditata dengan sengaja merupakan wujud proses kretaif yang bermula/berdasar pada khayalan/imajinasi belaka. Akan berbeda jika yang ditulis merupakan kisah atau pengalaman baik langsung maupun tidak langsung dari pangarang. Lepas dari semua hal yang diuraikan di atas, ada banyak hal lain yang seharusnya menjadi titik tolak kita berpikir, yaitu betapa hebat Rosandra berkreasi, bagaimana dengan diri kita? Nah!

Como Baixar