Selasa, 15 Mei 2012

Polemik Berbahasa dalam Tindak Komunikasi Lisan

Oleh: Agus Harianto, M.Pd. Susah memulai pembicaraan sering dialami oleh sebagian besar orang. Kesulitan berbicara ini menjadi semakin parah manakala kita harus berbicara dalam forum-forum resmi seperti seminar, diskusi umum, simposium, dll. Kondisi seperti ini memang merupakan sebuah bentuk gangguan dalam tindak komunikasi berbahasa. Jika kondisi seperti ini kita biarkan berlarut-larut maka dapat dipastikan kemampuan kita untuk berkomunikasi semakin parah. Tentu saja harus harus ada sebuah solusi yang tepat agar kita dapat melakukan tindak komunikasi tersebut dengan baik. Gejala-gejala seperti rasa takut untuk memulai pembicaraan, rasa khawatir tata bahasa yang dipergunakan salah, rasa malu dan tidak percaya diri di hadapan banyak orang menjadikan salah satu faktor penyebab gagalnya tindak komunikasi berbehasa lisan ini. Bisa saja terjadi seseorang mempunyai kemampuan yang hebat dalam tindak komunikasi tulis. Hasil karya tulisnya diakui mempunyai nilai dan kualitas yang tidak bisa dianggap remeh, tetapi ketika harus menyampaikannya di hadapan banyak orang secara lisan, justru ia tidak mempunyai kemampuan sama sekali. Sangat dimungkinkan bahwa hal ini terjadi karena seseorang tidak mempunyai kepercayaan diri yang bagus di hadapan banyak orang. Sangat mungkin terjadi dalam sebuah forum diskusi resmi sepi dari pertanyaan dan perdebatan karena sedikit sekali dari audience/peserta diskusi yang terlibat secara aktif dalam forum tersebut. Banyak peserta yang hadir dalam forum tersebut hanya sebagai simpatisan pasif belaka. Kehadiran mereka kadang hanya untuk memenuhi tuntutan formalitas saja. Mungkin saja kehadiran mereka hanya untuk mendapatkan sertifikat, agar dianggap intelek karena hadir dalam forum akademis yang bergengsi, atau karena tuntutan absen tugas belaka. Kalau kita perhatikan dalam setiap seminar yang dihadiri oleh ratusan bahkan lebih dari seribu orang, sebagian besar dari mereka benar-benar hanya untuk kepentingan salah satu dari yang telah diuraikan di atas. Kesalahan sangat fatal yang dilakukan oleh seorang yang sedang dalam tindak komunikasi berbahasa adalah ketika membiarkan dirinya tidak tahu sama sekali apa yang menjadi topik pembicaraan dalam tindak komunikasi tersebut. Apakah salah salah jika hal ini dianggap sebagai sebuah sebuah kejahatan berbahasa? Banyak pernyataan yang bisa dipakai untuk menjawab pertanyaan tersebut. Ketika tindak komunikasi berjalan dengan baik, maka akan tercapai tujuan komunikasi yang jelas. Ketika tindak komunikasi tidak berjalan dengan baik, maka terjadilah salah penafsiran/salah pengertian (miss-understanding). Kesalahan menafsirkan hasil sebuah tindak komunikasi (dalam satu bahasa) dipastikan akan menimbulkan banyak sekali masalah yang bisa mengganggu keharmonisan hubungan sosial sosial dalam masyarakat dalam arti luas. Untuk memperdalam masalah ini kita harus mengkaji sosiolinguistik. Dalam sebuah diskusi ilmiah dan sejenisnya dimungkinkan akan terjadi kesalahan interpretasi terhadap apa yang sedang menjadi bahan pembicaraan. Kesalahan interpretasi ini bisa dihindari dengan meminimalkan hambatan-hambatan komunikasi baik yang bersifat fisik maupun psikis. Jika dikategorikan hambatan-hambatan komunikasi ini terjadi sebagian besar disebabkan oleh faktor psikis bukan faktor fisik. Banyak komunikan yang mempunyai kelainan fisik (invalid) yang berhubungan dengan artikulator, tetapi mempunyai kemampuan yang hebat untuk melakukan tindak komunikasi. Sementara banyak sekali komunikan yang mempunyai kesempurnaan fisik justru tidak mampu berkomunikasi dengan baik hanya karena masalah-masalah yang berkaiatan dengan psikis. Dengan kalimat lain sebenarnya hambatan paling besar justru terletak pada kondisi psikis masing-masing individu. Ketika seorang individu sudah berniat mengikuti sebuah komunikasi resmi di forum-forum ilmiah sudah seharusnya ia mempersiapkan psikisnya untuk terlibat secara aktif dalam tindak komunikasi tersebut. Keterlibatan tersebut akan menjadikan rasa percaya pada diri sendiri semakin kuat dan kokoh. Tetapi jika keterlibatan kita dalam tindak komunikasi tersebut hanya secara fisik tanpa melibatkan segala unsur emosi dan psikis kita, bisa dipastikan akan terjadi hambatan komunikasi yang sangat kuat mengganjal jalannya komunikasi. Menyikapi hal ini maka sudah selayaknya para komunikan mulai berpikir dengan jernih bahwa keterlibatan emosional dalam sebuah tindak komunikasi resmi dalam forum ilmiah merupakan suatu faktor penentu keberhasilan kemonukasi yang sangat menguntungkan semua pihak. Selanjutnya apabila secara fisik dan psikis sudah bisa terlibat, maka langkah selanjutnya yang harus ditata adalah langkah-langkah teknis dalam tindak komunikasi. Beberapa hal yang bisa dilakukan secara teknis dalam komunikasi adalah memperluas wawasan yang berkaitan dengan materi pembicaraan, mengikuti seluruh pembicaraan dengan cermat, membuat catatan pokok isi pembicaraan, dan membuat rangkuman pembicaraan. Dengan melakukan hal teknis ini bisa dipastikan akan tercapai tujuan komunikasi. Jika secara teknis sudah kita lakukan dapat dipastikan keterlibatan kita dalam tindak komunikasi yang dimaksud akan total. Totalitas keterlibatan kita dalam tindak komunikasi tersebut akan mampu meningkatkan kualiutas komunikasi. Dalam kegiatan berbahasa lisan memang banyak faktor yang harus diperhatikan di samping faktor-faktor kebahasaan seperti tata bahasa, pelafalan, atau penggunaan kosa kata yang tepat. Faktor-faktor non-kebahasaan ini antara lain adalah masalah sopan santun berbahasa. Kepantasan seseorang dalam berkata-kata terutama dalam forum-forum resmi kadang kala tidak mendapat perhatian yang sungguh-sungguh. Sering kita dengar seseorang berbicara dengan mempergunakan kata-kata yang cenderung tidak intelek (baca: gaul) karena menirukan gaya bicara seorang selebritis. Penggunaan kata “aku” dalam forum ilmiah sudah tentu merupakan bentuk kebodohan yang dilakukan oleh penutur. Sebagai ilustrasi adalah kalimat-kalimat ragam lisan berikut. “Kalau menurut aku, pendapat itu tidak dapat kubenarkan” “Suami aku tidak ...”. “Pendapat aku, maaf tidak bisa aku ...” Di samping menunjukkan rendahnya kompetensi berbahasa seseorang, hal tersebut bisa saja memang menunjukkan sikap mental penutur yang cenderung meniru tanpa memperhatikan kepantasan atau bahkan etika dan sopan santun dalam tindak komunikasi. Tarigan (1987: 89-90) menyatakan berdasarkan pengalaman sehari-hari kita mengetahui bahwa kesopansantunan bisa diwujudkan bukan hanya dalam isi percakapan, melainkan juga dalam cara mengelola percakapan serta strukturnya. Sebagai contoh adalah perilaku percakapan seperti berbicara pada saat yang salah (menginterupsi, menyela) atau diam tidak pada waktunya mempunyai implikasi-implikasi yang tidak sopan. Lantas bagaimanakah sikap yang baik sebagai seorang yang terlibat dalam tindak komunikasi resmi dalam forum-forum ilmiah? Tentu saja sikap yang baik adalah mengikuti dengan aktif segala bentuk komunikasi dengan memperhatikan keterlibatan fisik dan psikis serta pertimbangan teknis dengan benar. Begitu kita mengambil keputusan untuk mengikuti sebuah bentuk kegiatan komunikasi forum resmi seperti seminar, maka sudah harus disiapkan pula fisik dan psikis. Dengan demikian kita akan dapat ambil bagian dengan sempurna dalam tindak komunikasi tersebut. Hal lain yang harus diperhatikan adalah bahwa dalam tindak komunikasi, penguasaan terhadap unsur-unsur retorika berbahasa memang sangat diperlukan. Ketika unsur-unsur retorika tersebut bisa dipahami dan dipergunakan dalam tindak tutur, dipastikan akan terjadi proses komunikasi yang baik sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Kemampuan retorika yang menjadikan semua tindak komunikasi berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan aspek-aspek metalinguistik sopan santun."Sopan santun tidak hanya terungkap dalam isi percakapan, tetapi juga dalam cara percakapan dikendalikan dan dipola oleh para pemeran sertanya. Misalnya, dalam percakapan, perilaku tertentu mengandung implikasi-implikasi tidak sopan, seperti berbicara pada saat yang keliru (menyela) atau diam pada saat yang keliru”(Leech, 1993: 219). Masalah sopan santun inilah yang kurang mendapat perhatian dari sebagian besar pelaku tindak komunikasi resmi. Kebiasaan berbicara dengan tidak memperhatikan kaidah sopan santun berbahasa ini menjadi sebuah bentuk pengingkaran aturan tata komunikasi resmi. Pengingkaran terhadap aturan tata komunikasi resmi pada akhirnya menjadi sebuah pembiasaan perilaku yang dianggap benar. Jika hal ini terus-menerus terjadi maka sangat dimungkinkan akan terjadi pergeseran norma komunikasi. Mungkin juga akan terjadi melemahnya kualitas komunikasi resmi dalam bentuk sulitnya membedakan bentuk komunikasi resmi tidak resmi. Menyikapi hal tersebut, sangat tidak salah jika sebagai penutur asli bahasa Indonesia, senantiasa memperhatikan bagaimana kita bisa terlibat secara aktif dalam komunikasi resmi secara baik dan benar. KEPUSTAKAAN Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik.Jakarta: Universitas Indonesia. Tarigan, Henry Guntur. 1987. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa

Como Baixar