Kamis, 10 September 2020

Menulis Resensi Drama

 

Analisis Isi, Tema, dan Pesan dalam Pementasan Drama

Oleh: Agus Harianto, M.Pd.

Menganalisis isi, tema, dan pesan dalam pementasan drama pada dasarnya merupakan sebuah bentuk kegiatan apresiasi yang sangat menarik. Mengapresiasi pementasan drama memerlukan keterlibatan secara  langsung dari seorang apresiator. Seorang apresiator tidak bisa tinggal diam di suatu tempat tanpa hadir dalam kegiatan pementasan tersebut. Berbeda dengan apresiasi puisi atau novel yang bisa dilakukan seorang diri oleh apresiator, untuk bisa melakukan apresiasi dengan baik apresiator harus terlibat secara langsung secara lahir batin. Maksudnya secara lahir atau fisik dia hadir dan menyaksikan pementasan drama, sedangkan secara batin atau psikis dia bertindak sebagai penikmat sekaligus pemberi apresiasi. Hal inilah yang menjadikan kegiatan apresiasi drama ini menjadi berbeda. Hasil nyata dari kegiatan apresiasi drama adalah resensi drama.

 

Resensi Drama

         Resensi berasal dari bahasa Latin, revidere (kata kerja) atau recensie. Artinya "melihat kembali, menimbang, atau menilai." Tindakan meresensi mengandung "memberikan penilaian, mengungkapkan kembali isi pertunjukan, membahas, dan mengkritiknya.

         Resensi drama yang ditonton merupakan pemberian pertimbangan atau pembicaraan terhadap drama yang ditonton. Penulisan resensi drama bertujuan memberikan rangsangan kepada pendengar agar menonton pementasan drama tersebut. Selain itu, resensi drama bernilai promosi yang akan membantu penulis drama memperkenalkan drama tersebut kepada masyarakat pembaca. Menulis resensi drama yang ditonton setidaknya harus memperhatikan dua lapis penilaian atau pertimbangan, yakni nilai sastra (drama) dan manfaat untuk hidup. Nilai kesastraan terungkap dari kegiatannya yang disebut apresiasi sastra, sedangkan manfaat untuk hidup terungkap dari apresiasinya atas kebutuhan masyarakat.

         Dengan demikian keterlibatan secara lahir dan batin dalam apresiasi drama meupakan suatu yang sangat mutlak diperlukan agar mampu memberikan apresiasi yang sempurna. Untuk dapat melaksanakan sebuah kegiatan apresiasi pementasan drama yang pada akhirnya diwujudka dalam bentuk resensi pementasan drama langkah-langkah yang harus diperhatikan untuk diikuti dalah sebagai berikut.

         Langkah pertama adalah adanya keterlibatan jiwa. Artinya, kita harus mempunyai kepekaan untuk dapat memahami masalah, merasakan perasaan, dan membayangkan dunia rekaan yang dipentaskan melalui kemampuan berempati. Hal ini berarti kita harus dapat bertindak seolah kita adalah tokoh-tokoh yang terdapat dalam pementasan drama tersebut. Dengan demikian kita akan terlibat secara pribadi dalam pementasan tersebut. Peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh akan menjadi masalah yang kita hadapi. Jika hal ini mampu kita lakukan berarti kita sudah masuk secara psikis dalam kegiatan pementasan tersebut. Tentu saja kondisi ini merupakan faktor mutlak penentu keberhasilan penulisan resensi pementasan drama.

         Langkah kedua, adalah bertindak seolah seorang dramawan. Dalam langkah ini kita harus mengetahui cara dramawan menerapkan asas keutuhan, keseimbangan, keselarasan, dan tekanan yang tepat pada pengalaman yang dipilih dan disusun dalam pertunjukan. Dengan kondisi ini sebenarnya kita mempunyai rasa kepuasan yang lebih besar dibandingkan  kepuasan yang kita dapatkan pada langkah pertama. Keberadaan kita seolah-olah benar-benar sebagai dramawan itu sendiri. Pada kondisi ini kita bisa memberikan penghargaan yang tinggi kepada dramawan dalam pementasan tersebut.

         Langkah ketiga adalah menemukan relevansi pengalaman yang didapat dari karya drama dengan pengalaman kehidupan nyata yang dihadapi. Dalam hal ini kita mendapatkan pemahaman yang sangat berarti tentang kehidupan. Walaupun kehidupan yang diciptakan oleh dramawan adalah dunia fantasi, justru dengan begitu kita bisa mengenal dunia nyata denga lebih baik karena dunia rekaan tersebut.

 

Unsur-unsur Resensi Drama

         Dalam sebuah resensi drama terdapat unsur-unsur pembentuk yang diperhatikan. Unsur-unsur tersebut membentuk sebuah resensi drama menjadi sebuah bentuk karya tulis yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kadar objektivitasnya. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut.

Identitas Naskah Drama
Identitas naskah drama meliputi judul drama, penulis, sutradara, tahun pembuatan, dan jumlah halaman.
Penokohan
Penokohan dalam pementasan drama merupakan kegiatan melisankan naskah drama yang disesuaikan dengan gerak/akting yang meliputi:
a.       penjiwaan pemain dalam memerankan karakter yang dimainkan;
b.       ekspresi yang digunakan pemain;
c.       gerak-gerik pemain;
d.       lafal yang digunakan pemain;
e.       intonasi yang digunakan pemain; serta
f.        volume suara yang digunakan pemain.
Tata rias
Tata rias memberikan bantuan yang sangat berarti kepada seorang pemain untuk mempermudah memainkan karakter yang diembannya. Tata rias bisa mengubah penampilan seseorang cantik dalam keseharian menjadi seorang buruk rupa dalam pementasan drama sebagaimana tuntutan skenario.
Tata Kostum
Sebagaimana tata rias, tata kostum sangat mendukung pemain untuk memerankan karakter yang diperankan. Tata rias dan tata kostum merupakan dua bagian yang sangat erat kaitannya. Biasanya petugas tata rias dan tata kostum diemban oleh orang yang sama untuk mempermudah penanganan.
Tata Panggung
Tata panggung menggambarkan latar cerita drama. Penggunaan property (alat bantu pementasan) yang tepat akan menambah nilai natural dalam pementasan tersebut. Misalnya di panggung terdapat lampu minyak dan beberapa kursi tamu berarti cerita drama yang dipentaskan mempunyai latar tempat di ruang tamu pada malam hari.
Tata Bunyi
Tata bunyi biasanya diwujudkan dengan penggunaan musik dan sound effect. Penggunaan sound effect membantu menggambarkan situasi yang terjadi dalam pementasan drama. Tentu saja penataan bunyi harus disesuaikan dengan tata panggung Misalnya saat pementasan terdengar suara jangkrik berarti suasana saat pementasan drama sedang sunyi sehingga hanya suara jangkrik yang terdengar.
Tata Lampu (lighting)
Tata lampu atau lighting bertujuan menerangi dan menyinari pentas dan aktor. Tata lampu dapat berfungsi sebagai berikut:
a)      membantu dalam menentukan keadaan jam, musim (cuaca),
b)     menambah nilai warna sehingga tercapai adanya sinar dan bayangan, serta
c)      menentukan fokus panggung.


Contoh Resensi Drama

 

Konsep Estetik dalam Kolase Gerak Yel Putu Wijaya

Judul drama            :     Yel
Pengarang                :     Putu Wijaya
Sutradara                 :     Putu Wijaya
Penata Musik          :     Harry Roesli
Pemain                     :     Teater Mandiri
Tempat                     :     Gedung Serba Guna ITB, 14 November 1995
Tahun Produksi     :     1995

 



Dengan latar bentangan kain layar putih, panggung adalah pelataran gelap. Perlahan-lahan kesenyapan itu ditimpali instrumen Harry Roesli, selaku penata musik, dengan deraian suara-suara malam, jangkrik, kodok, nyanyian serangga-serangga kecil, dan suara sapuan angin berkibasan pelan. Tidak berapa lama, aroma keluar memenuhi udara. Ada kesan mistik di sana. Masih diiringi suara-suara itu, dari kanan-kiri panggung muncul sentilan cahaya kecil yang membersit dari ujung-ujung hio yang terbakar. Hio itu bergerak menjadi deretan kunang-kunang yang beterbangan, berkejaran, melingkar berputaran, bersentuhan sesamanya, dan panggung beberapa saat dihiasi gerak cahaya-cahayanya sebelum akhirnya bercak-bercak sinar itu terbang dan menghilang lagi entah ke mana.

Adegan sesaat yang cukup apik dan tenang tadi sungguh merupakan pembuka yang demikian

kontras dengan adegan-adegan Yel karena sesaat kemudian suasana senyap itu dirobek dengan keriuhan yang mengiringi kemunculan siluet dua benda aneh. Benda itu seperti gada, yang satu bulat biasa lengkap dengan tangkai (ekor)-nya yang tampak aktif bergerak, sedangkan satunya lagi hanya tampak mata gadanya yang berduri dan pasif (tidak melakukan gerakan apa-apa. Secara sederhana, mungkin ini merupakan simbol yang digarap Putu Wijaya mengenai proses awal kelahiran manusia yang dalam sains diterangkan sebagai pertemuan sel telur dengan sperma.

Selain dari pandangan sains, tampaknya Putu mencoba untuk menarik dan menggabungkan hal ini dengan istilah Hindu tentang kejadian manusia pertama. Pada kitab Brahmananda Purana diterangkan bahwa setelah menciptakan surge yang indah, Brahma berkenan menciptakan para dewa, asura, pitara, dan manusia. Dalam semedinya, gemuruh, cahaya kilat, petir, pelangi, mega, kidung puji-pujian Weda, mantra, sesajen, telah ke luar pula dari tubuh Brahma sebelum kemudian tercipta binatang, tumbuhan, naga, jin, setan, raksasa, manusia, dan benda-benda serta makhluk lain yang mengisi jagat raya ini. Di sini, Putu tampak telah mengadopsi hal-hal tersebut gemuruh, cahaya-cahaya kelebatan kilat, petir, dan sekian nuansa warna yang dipadukan melengkapi permainan siluet di bentangan layar putihnya. Bahkan, Putu tampaknya ingin menggambarkan dan menonjolkan pula adanya suatu peperangan dahsyat yang terjadi di sana.

Jika menengok Upanishad, terutama ajaran Sankya, kita akan mendapati keterangan yang menyebutkan bahwa manusia yang lahir pada  hakikatnya hidup dalam dua dunia: material dan spritual, jiwa (purusa) dan alam prakiti yang meliputi segala sesuatu yang berubah; bersifat nisbi. Prakiti sendiri terbagi lagi menjadi tiga unsur: satvva (unsur keselelarasan, terang, kesempuraan, dan kemurnian), rajas (unsur perkembangan, gerak, dan nafsu), dan tamas (unsur kegelapan, kelambanan, dan kemusnahan). Dari perpaduan dan kaitan ketiga unsur tersebut, terjadilah aneka bentuk yang dapat kita amati.

Adapun purusa semuanya sama: tunggal dan tidak pernah terubahkan. Prakiti tercermin dalam purusa bagaikan sebuah kristal yang jernih (Zoetmoedler, Manunggaling Kawula Gusti, hlm. 92 dst.).

Jika kita melihat dalam konteks di atas, "peperangan" yang ditonjolkan Putu Wijaya akan terjadi disebabkan adanya jalinan dan pertentangan tiga unsur dalam dunia prakiti. Dalam simbolisasi yang diungkapkannya, dapat terlihat bahwa Putu merujuk pada hal-hal tersebut. Kehadiran raksasa yang memakan dan menghancurkan semua benda, bahkan melahap tempat-tempat ibadah, misalnya, dapat kita tarik sebagai simbolisasi unsur tamas. Dalam upaya melenyapkan unsur tamas, manusia tentu harus berperang melawannya, tetapi nyatanya  terkurung dan akhirnya justru dikuasasi unsur rajas, yakni hawa nafsu jasmaniah yang dalam pementasan ini digambarkan dengan manusia yang saling terkam dengan sesamanya. Ini terlihat pula dalam peperangan antara Prabu Kalakarna dan Raden Suryamaja

(Adipati Karna) yang disebabkan Prabu Kalakarna jatuh cinta kepada Dewi Surtikanti dan Madukara yang kemudian diculiknya. Ini pun merupakan perwujudan dari kuatnya nafsu jasmaniah manusa yang terlihat pula pada adegan sanggama yang jabang bayinya lantas diaborsikan.

Dalam pementasan yang didominasi gerak ini, tampaknya Putu mencoba untuk memadukan unsur gerak dari tradisi Indonesia sendiri, sebagaimana permainan gerak siluet pada bentangan layar yang mengingatkan kita pada tradisi wayang kulit. Penghadiran wayang kulit itu sendiri diwakili oleh Prabu Kalakarna (wayang kulit) dan Adipati Karna (wayang golek), serta gerak enerjik serta dinamis dari kesenian Bali. Ini ditambah dengan gerak lain hasil adopsi tradisi luar seperti seni Kabuki Jepang yang kental mewarnai pementasan tersebut.

Untuk menampilkan sebuah kebulatan pementasan dengan keragaman masing-masing tradisi, tentunya dibutuhkan proses yang bukan hanya asal comot. Paling tidak, di sini dibutuhkan suatu pemahaman yang matang mengenai konsepsi dan latar belakang yang tersimpan pada masing-masing tradisi yang tentunya memiliki nilai estetis dan aspek filosofisnya sendiri.

Di sini, Putu dapat dikatakan berhasil dalam upaya melakukan penggabungan unsur gerak tersebut tanpa terkesan adanya keterpatahan, misalnya saat dia harus menyelaraskan unsur gerak Balinya yang enerjik dan dinamis dengan gerak Kabuki Jepang yang dapat dikatakan lamban. Hal ini terlihat pada adegan ketika seorang wanita yang membawa kipas (gerakan khas Kabuki) yang bunuh diri dan tubuhnya diangkat ke atas. Kita bisa melihat adanya sinkronisasi antara tradisi harakiri Jepang dan konsep Upanishad.

Hal ini setidaknya bisa menunjukkan bahwa Putu tidak semata-mata mengadopsi tradisi-tradisi itu untuk ditempelkan sekadar mengejar pencapaian estetis pementasannya. Masih ada suatu garis penghubung yang mengikatnya dan yang paling penting di sini pementasannya rasional, tidak absur dalam keliaran imajinasi yang mengawang-awang tanpa kejelasan konsep.

Namun, sangat mungkin kesan keterpatahan ini menjadi tidak terasa karena ditunjang oleh penghadiran berbagai ungkapannya yang masih tampak sangat abstrak, surealis, dan tidak terbaca secara kasat mata. Ia masih merupakan sekumpulan gagasan yang memerlukan penerjemahan lebih lanjut dari penikmat dan penonton dramanya. Bahkan boleh jadi, karena terlampau banyak gagasan yang akan dituangkan dan diungkapkan, Putu pada akhirnya memilih untuk tidak banyak bicara. Ia hanya menampilkan gerak-gerak yang pada kenyataannya memang akan lebih mampu mengungkapkan yang mungkin tidak pernah dapat terwakilkan lewat kata-kata verbal. Fana tak terungkapkan dan nyata. Demikianlah maya menampilkan tiga aspek sejauh itu dapat dikenal oleh tiga macam pengetahuan, yakni pengetahuan tradisional, rasional, dan eksperimental, demikian salah satu ajaran Upanishad. Tampaknya dalam pementasan Yel yang maya ini, Putu mencoba untuk dapat menyentuh sekaligus menunjukkan ketiga pengetahuan itu sebagai dasar konsep estetikanya.

Sumber : Moh. Syafari Firdaus, Bandung Pos, 13 Desember 1995 (dalam Somad, 2008:314-315


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Como Baixar