Analisis Isi, Tema, dan Pesan dalam Pementasan Drama
Oleh: Agus Harianto, M.Pd.
Menganalisis isi, tema, dan pesan dalam pementasan drama pada dasarnya merupakan sebuah bentuk kegiatan apresiasi yang sangat menarik. Mengapresiasi pementasan drama memerlukan keterlibatan secara langsung dari seorang apresiator. Seorang apresiator tidak bisa tinggal diam di suatu tempat tanpa hadir dalam kegiatan pementasan tersebut. Berbeda dengan apresiasi puisi atau novel yang bisa dilakukan seorang diri oleh apresiator, untuk bisa melakukan apresiasi dengan baik apresiator harus terlibat secara langsung secara lahir batin. Maksudnya secara lahir atau fisik dia hadir dan menyaksikan pementasan drama, sedangkan secara batin atau psikis dia bertindak sebagai penikmat sekaligus pemberi apresiasi. Hal inilah yang menjadikan kegiatan apresiasi drama ini menjadi berbeda. Hasil nyata dari kegiatan apresiasi drama adalah resensi drama.
Resensi
Drama
Resensi berasal dari bahasa Latin, revidere
(kata
kerja) atau recensie.
Artinya "melihat kembali, menimbang, atau menilai." Tindakan
meresensi mengandung "memberikan penilaian, mengungkapkan kembali isi
pertunjukan, membahas, dan mengkritiknya.
Resensi drama yang ditonton merupakan pemberian
pertimbangan atau pembicaraan terhadap drama yang ditonton. Penulisan resensi
drama bertujuan memberikan rangsangan kepada pendengar agar menonton pementasan
drama tersebut. Selain itu, resensi drama bernilai promosi yang akan membantu
penulis drama memperkenalkan drama tersebut kepada masyarakat pembaca. Menulis
resensi drama yang ditonton setidaknya harus memperhatikan dua
lapis penilaian atau pertimbangan, yakni nilai sastra (drama) dan manfaat untuk
hidup. Nilai kesastraan terungkap dari kegiatannya yang disebut apresiasi
sastra, sedangkan manfaat untuk hidup terungkap dari apresiasinya atas
kebutuhan masyarakat.
Dengan demikian keterlibatan secara
lahir dan batin dalam apresiasi drama meupakan suatu yang sangat mutlak
diperlukan agar mampu memberikan apresiasi yang sempurna. Untuk dapat
melaksanakan sebuah kegiatan apresiasi pementasan drama yang pada akhirnya
diwujudka dalam bentuk resensi pementasan drama langkah-langkah yang harus
diperhatikan untuk diikuti dalah sebagai berikut.
Langkah pertama adalah adanya keterlibatan
jiwa. Artinya, kita harus mempunyai kepekaan untuk dapat memahami masalah,
merasakan perasaan, dan membayangkan dunia rekaan yang dipentaskan melalui
kemampuan berempati. Hal ini berarti kita harus dapat bertindak seolah kita
adalah tokoh-tokoh yang terdapat dalam pementasan drama tersebut. Dengan
demikian kita akan terlibat secara pribadi dalam pementasan tersebut.
Peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh akan menjadi masalah yang kita hadapi.
Jika hal ini mampu kita lakukan berarti kita sudah masuk secara psikis dalam
kegiatan pementasan tersebut. Tentu saja kondisi ini merupakan faktor mutlak
penentu keberhasilan penulisan resensi pementasan drama.
Langkah kedua, adalah bertindak seolah
seorang dramawan. Dalam langkah ini kita harus mengetahui cara dramawan
menerapkan asas keutuhan, keseimbangan, keselarasan, dan tekanan yang tepat
pada pengalaman yang dipilih dan disusun dalam pertunjukan. Dengan kondisi ini
sebenarnya kita mempunyai rasa kepuasan yang lebih besar dibandingkan kepuasan yang kita dapatkan pada langkah
pertama. Keberadaan kita seolah-olah benar-benar sebagai dramawan itu sendiri.
Pada kondisi ini kita bisa memberikan penghargaan yang tinggi kepada dramawan
dalam pementasan tersebut.
Langkah ketiga adalah menemukan
relevansi pengalaman yang didapat dari karya drama dengan pengalaman kehidupan
nyata yang dihadapi. Dalam hal ini kita mendapatkan pemahaman yang sangat
berarti tentang kehidupan. Walaupun kehidupan yang diciptakan oleh dramawan
adalah dunia fantasi, justru dengan begitu kita bisa mengenal dunia nyata denga
lebih baik karena dunia rekaan tersebut.
Unsur-unsur Resensi Drama
Dalam sebuah resensi drama terdapat
unsur-unsur pembentuk yang diperhatikan. Unsur-unsur tersebut membentuk sebuah
resensi drama menjadi sebuah bentuk karya tulis yang bisa dipertanggungjawabkan
secara ilmiah karena kadar objektivitasnya. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai
berikut.
Penokohan
Penokohan dalam pementasan drama merupakan kegiatan melisankan naskah drama yang disesuaikan dengan gerak/akting yang meliputi:
a. penjiwaan pemain dalam memerankan karakter yang dimainkan;
b. ekspresi yang digunakan pemain;
c. gerak-gerik pemain;
d. lafal yang digunakan pemain;
e. intonasi yang digunakan pemain; serta
f. volume suara yang digunakan pemain.
Tata rias
Tata rias memberikan bantuan yang sangat berarti kepada seorang pemain untuk mempermudah memainkan karakter yang diembannya. Tata rias bisa mengubah penampilan seseorang cantik dalam keseharian menjadi seorang buruk rupa dalam pementasan drama sebagaimana tuntutan skenario.
Tata Kostum
Sebagaimana tata rias, tata kostum sangat mendukung pemain untuk memerankan karakter yang diperankan. Tata rias dan tata kostum merupakan dua bagian yang sangat erat kaitannya. Biasanya petugas tata rias dan tata kostum diemban oleh orang yang sama untuk mempermudah penanganan.
Tata Panggung
Tata panggung menggambarkan latar cerita drama. Penggunaan property (alat bantu pementasan) yang tepat akan menambah nilai natural dalam pementasan tersebut. Misalnya di panggung terdapat lampu minyak dan beberapa kursi tamu berarti cerita drama yang dipentaskan mempunyai latar tempat di ruang tamu pada malam hari.
Tata Bunyi
Tata bunyi biasanya diwujudkan dengan penggunaan musik dan sound effect. Penggunaan sound effect membantu menggambarkan situasi yang terjadi dalam pementasan drama. Tentu saja penataan bunyi harus disesuaikan dengan tata panggung Misalnya saat pementasan terdengar suara jangkrik berarti suasana saat pementasan drama sedang sunyi sehingga hanya suara jangkrik yang terdengar.
Tata Lampu (lighting)
Tata lampu atau lighting bertujuan menerangi dan menyinari pentas dan aktor. Tata lampu dapat berfungsi sebagai berikut:
a) membantu dalam menentukan keadaan jam, musim (cuaca),
b) menambah nilai warna sehingga tercapai adanya sinar dan bayangan, serta
c) menentukan fokus panggung.
Contoh Resensi Drama
Konsep Estetik dalam Kolase Gerak Yel Putu Wijaya
Judul drama : Yel
Pengarang : Putu Wijaya
Sutradara : Putu Wijaya
Penata Musik : Harry Roesli
Pemain : Teater Mandiri
Tempat : Gedung Serba Guna ITB, 14 November 1995
Tahun Produksi : 1995
Dengan
latar bentangan kain layar putih, panggung adalah pelataran gelap.
Perlahan-lahan kesenyapan itu ditimpali instrumen Harry Roesli, selaku penata
musik, dengan deraian suara-suara malam, jangkrik, kodok, nyanyian
serangga-serangga kecil, dan suara sapuan angin berkibasan pelan. Tidak berapa
lama, aroma keluar memenuhi udara. Ada kesan mistik di sana. Masih diiringi
suara-suara itu, dari kanan-kiri panggung muncul sentilan cahaya kecil yang
membersit dari ujung-ujung hio yang terbakar. Hio itu bergerak menjadi deretan
kunang-kunang yang beterbangan, berkejaran, melingkar berputaran, bersentuhan
sesamanya, dan panggung beberapa saat dihiasi gerak cahaya-cahayanya sebelum
akhirnya bercak-bercak sinar itu terbang dan menghilang lagi entah ke mana.
Adegan
sesaat yang cukup apik dan tenang tadi sungguh merupakan pembuka yang demikian
kontras
dengan adegan-adegan Yel karena sesaat kemudian suasana senyap itu dirobek
dengan keriuhan yang mengiringi kemunculan siluet dua benda aneh. Benda itu
seperti gada, yang satu bulat biasa lengkap dengan tangkai (ekor)-nya yang tampak
aktif bergerak, sedangkan satunya lagi hanya tampak mata gadanya yang berduri
dan pasif (tidak melakukan gerakan apa-apa. Secara sederhana, mungkin ini
merupakan simbol yang digarap Putu Wijaya mengenai proses awal kelahiran
manusia yang dalam sains diterangkan sebagai pertemuan sel telur dengan sperma.
Selain
dari pandangan sains, tampaknya Putu mencoba untuk menarik dan menggabungkan hal
ini dengan istilah Hindu tentang kejadian manusia pertama. Pada kitab Brahmananda
Purana diterangkan bahwa setelah menciptakan surge yang indah, Brahma berkenan
menciptakan para dewa, asura, pitara, dan manusia. Dalam semedinya, gemuruh,
cahaya kilat, petir, pelangi, mega, kidung puji-pujian Weda, mantra, sesajen,
telah ke luar pula dari tubuh Brahma sebelum kemudian tercipta binatang,
tumbuhan, naga, jin, setan, raksasa, manusia, dan benda-benda serta makhluk
lain yang mengisi jagat raya ini. Di sini, Putu tampak telah mengadopsi hal-hal
tersebut gemuruh, cahaya-cahaya kelebatan kilat, petir, dan sekian nuansa warna
yang dipadukan melengkapi permainan siluet di bentangan layar putihnya. Bahkan,
Putu tampaknya ingin menggambarkan dan menonjolkan pula adanya suatu peperangan
dahsyat yang terjadi di sana.
Jika
menengok Upanishad, terutama ajaran Sankya, kita akan mendapati keterangan yang
menyebutkan bahwa manusia yang lahir pada
hakikatnya hidup dalam dua dunia: material dan spritual, jiwa (purusa)
dan alam prakiti yang meliputi segala sesuatu yang berubah; bersifat nisbi. Prakiti
sendiri terbagi lagi menjadi tiga unsur: satvva (unsur keselelarasan, terang,
kesempuraan, dan kemurnian), rajas (unsur perkembangan, gerak, dan nafsu), dan
tamas (unsur kegelapan, kelambanan, dan kemusnahan). Dari perpaduan dan kaitan
ketiga unsur tersebut, terjadilah aneka bentuk yang dapat kita amati.
Adapun
purusa semuanya sama: tunggal dan tidak pernah terubahkan. Prakiti tercermin dalam
purusa bagaikan sebuah kristal yang jernih (Zoetmoedler, Manunggaling Kawula
Gusti, hlm. 92 dst.).
Jika
kita melihat dalam konteks di atas, "peperangan" yang ditonjolkan
Putu Wijaya akan terjadi disebabkan adanya jalinan dan pertentangan tiga unsur
dalam dunia prakiti. Dalam simbolisasi yang diungkapkannya, dapat terlihat
bahwa Putu merujuk pada hal-hal tersebut. Kehadiran raksasa yang memakan dan
menghancurkan semua benda, bahkan melahap tempat-tempat ibadah, misalnya, dapat
kita tarik sebagai simbolisasi unsur tamas. Dalam upaya melenyapkan unsur
tamas, manusia tentu harus berperang melawannya, tetapi nyatanya terkurung dan akhirnya justru dikuasasi unsur
rajas, yakni hawa nafsu jasmaniah yang dalam pementasan ini digambarkan dengan
manusia yang saling terkam dengan sesamanya. Ini terlihat pula dalam peperangan
antara Prabu Kalakarna dan Raden Suryamaja
(Adipati
Karna) yang disebabkan Prabu Kalakarna jatuh cinta kepada Dewi Surtikanti dan
Madukara yang kemudian diculiknya. Ini pun merupakan perwujudan dari kuatnya
nafsu jasmaniah manusa yang terlihat pula pada adegan sanggama yang jabang bayinya
lantas diaborsikan.
Dalam
pementasan yang didominasi gerak ini, tampaknya Putu mencoba untuk memadukan
unsur gerak dari tradisi Indonesia sendiri, sebagaimana permainan gerak siluet
pada bentangan layar yang mengingatkan kita pada tradisi wayang kulit. Penghadiran
wayang kulit itu sendiri diwakili oleh Prabu Kalakarna (wayang kulit) dan
Adipati Karna (wayang golek), serta gerak enerjik serta dinamis dari kesenian
Bali. Ini ditambah dengan gerak lain hasil adopsi tradisi luar seperti seni Kabuki
Jepang yang kental mewarnai pementasan tersebut.
Untuk
menampilkan sebuah kebulatan pementasan dengan keragaman masing-masing tradisi,
tentunya dibutuhkan proses yang bukan hanya asal comot. Paling tidak, di sini
dibutuhkan suatu pemahaman yang matang mengenai konsepsi dan latar belakang
yang tersimpan pada masing-masing tradisi yang tentunya memiliki nilai estetis dan
aspek filosofisnya sendiri.
Di
sini, Putu dapat dikatakan berhasil dalam upaya melakukan penggabungan unsur
gerak tersebut tanpa terkesan adanya keterpatahan, misalnya saat dia harus
menyelaraskan unsur gerak Balinya yang enerjik dan dinamis dengan gerak Kabuki
Jepang yang dapat dikatakan lamban. Hal ini terlihat pada adegan ketika seorang
wanita yang membawa kipas (gerakan khas Kabuki) yang bunuh diri dan tubuhnya
diangkat ke atas. Kita bisa melihat adanya sinkronisasi antara tradisi harakiri
Jepang dan konsep Upanishad.
Hal
ini setidaknya bisa menunjukkan bahwa Putu tidak semata-mata mengadopsi tradisi-tradisi
itu untuk ditempelkan sekadar mengejar pencapaian estetis pementasannya. Masih
ada suatu garis penghubung yang mengikatnya dan yang paling penting di sini
pementasannya rasional, tidak absur dalam keliaran imajinasi yang
mengawang-awang tanpa kejelasan konsep.
Namun,
sangat mungkin kesan keterpatahan ini menjadi tidak terasa karena ditunjang
oleh penghadiran berbagai ungkapannya yang masih tampak sangat abstrak,
surealis, dan tidak terbaca secara kasat mata. Ia masih merupakan sekumpulan gagasan
yang memerlukan penerjemahan lebih lanjut dari penikmat dan penonton dramanya. Bahkan
boleh jadi, karena terlampau banyak gagasan yang akan dituangkan dan
diungkapkan, Putu pada akhirnya memilih untuk tidak banyak bicara. Ia hanya menampilkan
gerak-gerak yang pada kenyataannya memang akan lebih mampu mengungkapkan yang mungkin
tidak pernah dapat terwakilkan lewat kata-kata verbal. Fana tak terungkapkan
dan nyata. Demikianlah maya menampilkan tiga aspek sejauh itu dapat dikenal
oleh tiga macam pengetahuan, yakni pengetahuan tradisional, rasional, dan
eksperimental, demikian salah satu ajaran Upanishad. Tampaknya dalam pementasan
Yel yang maya ini, Putu mencoba untuk dapat menyentuh sekaligus menunjukkan ketiga
pengetahuan itu sebagai dasar konsep estetikanya.
Sumber
: Moh. Syafari Firdaus, Bandung Pos, 13
Desember 1995 (dalam Somad, 2008:314-315
Tidak ada komentar:
Posting Komentar