Sabtu, 19 Desember 2009

1. KATEGORI KATA DIONYSIUS THRAX DAN PRISCIANUS


Perkembangan ilmu kebahasaan (linguistik) dapat dikatakan bersumber pada catatan sarjana-sarjana Yunani yang demikian rapi. Banyak sarjana Yunani yang berjasa besar dalam mengembangan linguistik. Di antara mereka adalah Plato dan muridnya Aristotel yang mengembangkan pengkategorian dalam bahasa. Pada perkembangan selanjutnya kita kenal Dionysius Thrax dan Priscianus yang mengembangkan kategori kata dalam bahasa. Kategori kata yang dikembangkan oleh kedua sarjana ini dapat dibandingkan sebagaimana tabel di bawah ini.



Dionysius Thrax dan Priscianus tampaknya mempunyai pandangan yang tidak jauh berbeda dalam mengelompokan kata. Kedua sarjana ini mengkategorikan kata menjadi delapan jenis. Berdasarkan tabel di atas dapat kita ketahui bahwa dari delapan kategori yang dibuat oleh Dionysius Thrax dan Priscianus hanya satu kategori saja yang berbeda, yaitu pada kategori nomor empat. Dionysius Thrax menetapkan sebuah kategori kata sandang (arthron/article), sementara Priscianus tidak mempergunakan kategori ini tetapi menggantinya dengan kata seru (interiectio/interjecsi). Secara lengkap penjelasan tentang penjenisan kata tersebut diuaikan di bawah ini.

Klasifikasi Jenis Kata Dionysius Thrax

1. Onoma, yaitu jenis kata yang dapat mengalami infleksi kasus dengan kasus yang ada, yang menandai orang atau barang.

2. Rhema, atau kata kerja, yaitu jenis kata tanpa mengalami infleksi kasus, tetapi mengalami infleksi karena tense, manusia, bilangan, dan menandai aktivitas atau proses.

3. Metoche atau participle, yaitu jenis kata yang memiliki ciri-ciri sebagai kata kerja atau kata benda.

4. Arthron atau article, yaitu jenis kata yang mengalami infleksi untuk kasus dan menempati posisi sebelum atau sesudah onoma.

5. Antonymia atau kata ganti, yaitu jenis kata yang menggantikan onoma, khususnya manusia.

6. Prothesis atau preposisi, yaitu jenis kata yang menempati posisi awal kata-kata lain dalam suatu komposisi atau dalam sintaksis.

7. Epirhema atau kata keterangan, yaitu jenis kata yang tidak mengalami infleksi dalam perubahan kata kerja atausebagai tambahan kata kerja.

8. Syndesmos atau conjungsi, yaitu jenis kata yang mengikat wacana bersama dan mengisi kesenjangan interpretasinya.

Klasifikasi Kata Priscianus

1. Nomen atau kata benda, termasuk kata-kata yang sekarang ini dikenal sebagai kata sifat. Ciri kata benda, dengan demikian, menunjukkan zat atau kualitas, kualitas umum atau kualitas khusus dari sesuatu badan atau barang.

2. Verbum atau kata kerja; kata ini menunjukkan suatu tindakan atau yang terkena tindakan. Jenis kata ini mempunyai bentuk-bentuk tense dan mood, yaitu sesuatu yang bisa mengungkapkan perasaan tetapi tidak mengalami infleksi untuk kasus.

3. Participium atau participle, yaitu suatu kelas kata kata-kata yang secara deriasional mengacu kepada kata kerja, mempunyai sifat yang sama untuk kata kerja maupun kata benda, tetapi tidak dapat dikategorikan ke dalam salah satu kata tersebut.

4. Pronomen (pronoun) atau dikenal sebagai kata ganti. Sifat kata ganti ialah kemampuannya untuk mengganti kedudukan nama diri atau kata ganti orang: pertama, kedua, atau ketiga, tunggal atau jamak.

5. Adverbium atau kata keterangan. Sifat kata keterangan ini ialah kenyataan bahwa ia dapat dipergunakan bersama-sama denga kata kerja, yang secara sintaksis dan semantis, merupakan bawahan kata kerja tersebut.

6. Prepositio atau preposisi. Sifat preposisi ini ialah kemampuannya dipergunakan sebagai kata yang terpisah yang diletakkan di muka kata-kata yang mengalami infleksi karena kasus dan di dalam komposisi seblum kata-kata yang mengalami atau tidak mengalami infleksi untuk kasus.

7. Interissctio atau interjecsi, yaitu suatu kelas kata-kata yang secara sintaksis tidak terikat oleh kata kerja, tetapi dapat menujukkan rasa atau keadaan jiwa.

8. Coniunctio atau conjungsi. Sifat kelompok kata ini ialah kemampuannya menghubungkan dua atau tiga anggota jenis kata yang lain secara sintaksis, dan menyatakan hubungan antara kata-kata itu.



2. KONTROVERSI LINGUISTIK

Perkembangan ilmu bahasa tidak bisa dilepaskan dari berbagai macam kontroversi yang mengikutinya. Kontroversi tersebut merupakan hal yang sangat alami/wajar terjadi dalam perkembangan keilmuan. Bahasa apapun di dunia ini senantiasa berkembang sesuai dengan perubahan peradaban dan kebudayaan. Perubahan-perubahan dari berbagai macam sisi ini memicu lahirnya beragam pendapat dengan kepentingan dan sudut pandang yang berbeda. Demikian pula yang terjadi dengan ilmu bahasa. Banyak sekali terjadi perbedaan pandangan terhadap analisis sebuah ilmu kebahasaan. Di antara kontroversi yang terjadi dalam kajian linguistik adalah sebagaimana diuraiakan dalam pembahasan ini.

Kontroversi linguistik sudah terjadi sejak zaman Yunani Kuno. Kontroversi dalam bidang linguistik ini terus berkembang sampai sekarang . Berbagai ragam kontroversi harus bisa menjadi tambahan khasanah keilmuan, bukan sekedar beradu argumentasi yang pada akhirnya hanya berujung pada dendam kesumat dan pengelompokan individu belaka. Dengan pembahasan ini akan dikupas berbagai kontroversi linguistik, diantaranya adalah phusis-thesis, analogi-anomali, empirisme-rasionalisme, strukturalisme-gramatika transformas generatif.

1. Phusis dan Thesis

Kontroversi antara kubu Phusis dan Thesis merupakan kontroversi bidang linguistik yang pertama, terjadi sekitar abad keenam sebelum Masehi. Kedua kubu ini mempertentangkan kaitan antara bahasa (kata) dengan alam. Kubu Phusis meyakini bahwa dalam sebuah bahasa terjadi hubungan erat antara kata-kata dengan alam. Kubu Phusis menyatakan beberapa argumentasi bahwa ada kaitan antara kata dengan alam. Pertama, adanya gejala onomatopoeia, yaitu gema suara alam. Menurut kubu ini onomatopoeia dipergunakan untuk memberikan nama konsep-konsep kebendaan yang ada di sekeliling manusia. Sebagai contoh adalah kata-kata di bawah ini.


B. INGGRIS      B.  NDONESIA          KETERANGAN

splash                percik                            suara gemercik air

pick                   petik                              suara petikan gitar

sway                 ayun                              suara ayunan_swaiis



Kedua, gejala asosiasi bunyi dengan sifat seseorang atau benda. Gejala ini merupakan perkembangan dari onomatopoeia. Sebagai contoh dari gejala ini adalah bunyi-bunyi /i/ (dalam bahasa Indonesia) diasosiasikan dengan kecantikan, kemungilan, atau kesucian. Perwujudan dari gejala ini adalah pada kata-kata melati, suci, murni, mungil, indah, dll. Gejala ketiga yang juga merupakan perkembangan dari onomatopoeia adalah asosiasi warna, lagu, dan perasaan. Perkembangan onomatopoeia jenis ini sangat bermanfaat dalam sistem pengaturan cahaya, warna kostum, lagu-lagu pengiring dalam pementasan seni, drama, dan tari.

Sementara itu kubu Thesis menyatakan bahwa tidak ada kaitan antara kata dan alam. Kubu Thesis menyampaikan contoh-contoh yang berdasarkan kaidah asosiasi ternyata tidak ada kaitannya sama sekali antara kata dengan alam. Nama-nama yang diberikan ternyata hanyalah merupakan konvensi antarsesama anggota masyarakat penutur suatu bahasa. Orang Inggris mengatakan branches of a tree, orang Indonesia menyebut cabang-cabang pohon, sementara orang Jawa mengatakan pangé wit? Hal ini tentunya juga terjadi dengan berbagai bahasa yang lain di belahan dunia ini. Hal ini menurut kubu Thesis sama sekali tidak mencerminkan adanya kaitan antara kata dengan alam, antara nama benda atau konsep dengan gema suara alam.


2. Analogi dan Anomali

Paham analogi dan paham anomali merupakan kontroversi kedua yang terjadi sekitar abad keempat sebelum Masehi. Kontroversi yang terjadi di antara kedua paham ini dapat dikatakan sangat tajam sehingga membawa pada perseteruan yang mengakibatkan pembatasan wilayah bagi kedua paham ini. Penganut paham Analogi berpusat di kota Alexandria, sedangkan para penganut paham Anomali lebih senang tinggal di kota Pergamum. Penganut paham Analogi meyakini bahwa bahasa itu tertata oleh suatu aturan yang pasti (laguange is governed). Contoh kata petinju, pelatih, pengajar, dan pengecat mengandung makna orang yang pekerjaannya sesuai dengan kata dasarnya, sehingga kata yang bentuknya sama dengan itu mempunyai makna dasar yang sama. Sementara itu penganut paham Anomali menganggap bahwa dalam bahasa tidak ada keteraturan yang pasti. Jika terdapat keteraturan, sebenarnya keteraturan itu hanya merupakan sebagian kecil dari ketidakteraturan tersebut. Bukti yang dicontohkan di atas tidak selamanya bermakna orang yang, tetapi bisa bermakna lain, misalnya penggali, penghapus, dan pembersih dapat bermakna orang atau alat. Pertentangan kedua paham ini sebenarnya merupakan kekuatan dari ilmu kebahasaan. Bagaimanpun paham analogi dan anomali, sudah barang tentu akan dapat menambah khasanah keilmuan terutamma dalam linguistik.

Kedua paham ini menyarankan agar kita mempelajari karya sastra (puisi, prosa, dan drama) para pengarang terkenal. Dalam hal ini para sastrawan harus memberikan contoh model penggunaan bahasa yang baik dan benar.

Bagaimanapun hebatnya pertentangan di antara penganut kedua paham ini, tetap tujuan akhirya adalah mempertahankan usaha meningkatkan penggunaan bahasa yang baik dan benar.


3. Empirisme dan Rasionalisme

Pada zaman Renaissance terdapat dua aliran yaitu Empirisme dan Rasionalisme. Penganut paham empirisme beranggapan bahwa manusia itu seperti kertas kosong (tabula rasa). Jiwa manusia akan kosong sebelum ada rangsangan yang lewat indera. Dalam belajar bahasa, manusia harus berinteraksi dengan lingkungannya. Bahasa harus dipelajari (learned) tidak semata-mata langsung dapat berbahasa. Hal ini bertentangan dengan paham rasionalisme. Kaum rasionalis percaya bahwa segala sesuatu itu pasti bias dirasionalkan, sehingga tidak mungkin terjadi sesuatu secara begitu saja. Menurut paham ini jiwa manusia tidak seperti kertas kosong, tetapi telah berbekal pemikiran-pemikiran yang logis. Dalam masalah bahasa penganut paham rasionalis beranggapan bahwa bahasa sudah ada dalam jiwa manusia sebagai pembawaan (innate).


4. Strukturalisme dan Gramatika Transformasi Generatif

Kontroversi keempat ini terjadi dalam abad kedua puluh, yaitu antara paham strukturalisme dengan para Cartesian Modern dengan paham Gramatika Transformasi Generatifnya. Konsep dasar kontroversi dari kedua paham ini terletak pada bagaimana sebuah bahasa disusun. Menurut paham strukturalisme, bahasa diibaratkan sebagaimana sebuah bangunan terdiri atas berbagai eleman penyusun, maka bahasa terdiri atas kalimat-kalimat yang berasal dari klausa-klausa; klausa-klausa tersebut dibangun dari frasa-frasa; frasa dibangun dari kata-kata; kata dibangun dari morfem-morfem; dan morfem dibangun dari fonem-fonem. Berdasarkan hal tersebut struktur gramatika yang diperkenalkan oleh paham ini terbatas pada gramatika struktur frasa (Phrase Structure Grammar). Untuk selanjutnya strukturalisme dalam linguistik selalu dihubungkan dengan Ferdinand de Saussure. Ferdinand de Saussure memperkenalkan gagasan-gagasan linguistik dengan diwarnai oleh berbagai macam dikotomi.

Sementara itu Chomsky salah satu dari kaum Cartesian Modern dengan paham Gramatika Transformasi Generatifnya menyatakan bahwa bahasa itu sangat rumit, tidak sesederhana sebagaimana yang dinyatakan oleh kaum strukturalis. Untuk mempelajari bahasa kita harus memisahkan sistem kognitif secara tersendiri, yaitu suatu system pengetahuan dan keyakinan yang berkembang sejak anak-anak, yang berinteraksi dengan factor-faktor lain untuk menentukan jenis perilaku kebahasaan (kompetensi). Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa menurut paham Gramatika Transformasi Generatif bahasa bukanlah learned melainkan innate.


5. Kontroversi Linguistik di Indonesia

Di Indonesia kontroversi linguistik terjadi antara kelompk yang percaya bahasa itu mempunyai fungsi transaksional dan kelompok yang percaya bahwa bahasa itu mempunyai fungsi interaksional. Fungsi transaksional dimaksudkan bahwa dalam suatu tindak komunikasi berbahasa yang dipentinkan adalah bagaimana agar daya pesan yang terkandung dalam suatu kalimat bias disampaikan dengan jelas tanpa salah. Pada fungsi ini lebih ditekankan bahasa tulisan. Sedangkan fungsi interaksional lebih mementingkan bahasa lisan. Fungsi interaksional adalah bahwa bahasa sekedar alat untuk berkomunikasi antaranggota sosial sehingga harus mempertahankan pentingnya hubungan sosial.

Pertentangan, perbedaan pendapat, ataupun sebuah kontroversi dalam hal ilmiah sudah barang tentu adalah hal yang sangat wajar terjadi. Kontroversi linguistik yang terjadi selama ini seharusnya menjadikan suatu tambahan khasanah keilmuan kita. Di kampus-kampus seperti Massachusetts Institut of Technologi (MIT), Harvard University, University of Illinois misalnya perbedaan pendapat dan kontroversi keilmuan diberi atmosfer akademik yang baik untuk menembangkan keilmuan masing-masing sehingga tercipta dinamika keilmuan yang sehat dan segar. Sementara itu di kampus-kampus kita hal seperti ini masih belum bisa tercipta dengan baik. Banyak yang belum membedakan bagaimana cara bernalar dari ketersinggunngan suatu kepentingan.

Menyikapi semua bentuk kontroversi di atas tampaknya kita harus benar-benar bisa berpikir secara lebih logis dengan nalar yang sehat. Sebagaimana diungkapkan oleh Abdul Wahab dalam Isu Linguistik Pengajaran Bahasa dan Sastra (2006) bahwa sebenarnya tidak perluterjadi pertentangan yang berlebihan antara satu dengan yang lain sebegaimana yang terjadi antara tatabahasan dan analis wacana.Mereka tidak perlu bertengkar sebab apa yang dituduhkan oleh para analis wacana tidak seluruhnya benar. Analis wacana tidak dapat mengabaikan sintaksis dan semantik sama sekali, karena analis wacana masih memerlukan analisis sintaksis dan semantik. Kontribusi sintaksis bagi analis wacana itu terutama terletak pada peranan hubungan klausa dalam suatu wacana. Hubungan klausa itu itu sangat membantu bentuk koherensi wcana yang tersusun dari komponen-komponen pikiran yang pada permulaan tidak logis.



3. DIKOTOMI MONGIN FERDINAND DE SAUSSURE

Aliran strukturalisme dalam linguistik dekat sekali dengan dikotomi-dikotomi yang disampaikan oleh Ferdinand de Saussure. Terdapat enam dikotomi yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure, yaitu: diakronik-sinkronik, langue-parole, significant-signifie, mental-fisik, bentuk-substansi, dan hubungan paradigmatik-hubungan sintagmatik. Di bawah ini pembahasan lengkap keenam dikotomi tersebut.

1. Diakronik dan Sinkronik

Kata diakronik dan sinkronik berasal dari bahasa Yunani, diakronik berarti sepanjang waktu, sedangkan sinkronik berarti bersama dalam satu waktu. Berdasarkan pengertian di atas jika dihubungkan dengan studi tentang kebahasaan, diakronik dapat diartikan belajar bahasa dari waktu ke waktu, sedangkan sinkronik dapat diartikan studi kebahasaan untuk waktu yang bersamaan. Simpulan yang diberikan oleh Ferdinand de Saussure adalah bahwa bahasa itu bias dilacak dari waktu ke waktu dan dipelajari untuk jangka waktu tertentu.

2. Langue dan Parole

Langue merupakan sistem bahasa dalam konteks sosial. Interaksi antaranggota elemen masyarakat atau lembaga sosial merupakan bagian dari fungsi bahasa. Dalam langue terjadi interaksi antara individu yang satu dengan individu yang lain dalam konteks sosial kemayarakatan. Sedangkan parole atau tindak berbicara cenderung bersifat kolektif dan individual. Parole bersifat kolektif jika mejadi milik makhluk sosial, tetapi bersifat individual jika mejadi individu. Dapat disimpulkan bahwa dalam sebuah langue bisa terdapat berbagai macam parole sesuai dengan jenis interaksi yang terjadi di dalamnya.

3. Signifiant dan Signifie

Signifiant adalah bentuk bahasa yang terkandung dalam sekumpulan fonem yang merupakan perwujudan akustik suatu bahasa. Signifiant merupakan wujud dasar sistem fonologi suatu bahasa. Sdangkan signifie merupakan kandungan mental atau citra mental suatu bahasa atau makna yang terkandung dalam bahasa.

4. Mental dan fisik

Berdasarkan tinjauan mental bahasa merupakan suat toatalitas pikiran dalam jiwa manusia. Sedangkan secara fisik bahasa adalah getaran udara yang terjadi melalui alat artikulasi manusia. Kondisi fisik dan mental seseorang senantiasa menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, maka dapat dipastikan jika bahasa pada dasarnya merupakan pertemuan antara totalitas pikiran dalam jiwa dan getaran yang dibuat menusia melalui alat-alat bicaranya.

5. Bentuk dan Substansi

Bentuk merupakan semacam sistem posisi dalam linguistik. Menurut Ferdinand de Saussure yang lebih penting dalam linguitsik adlah bentuk bukan substansi. Mengapa demikian? Karena nilai sebuah satuan linguistik benar-benar ditentukan oleh posisinya bukan substansinya. Satu unit saja yang berubah dalam sebuah bentukan, maka akan mengubah nilai atau makna satuan lainnya. Sebagai gambaran contoh adalah kalimat Ibu membeli seekor ayam kampung, ketika terjadi perubahan letak atau posisi unsur-unsurnya maka akan terjadi pergeseran makna yang cukup dramatik. Misalnya, pertukaran posisi subjek dan objek menjadikan kalimat Seekor ayam kampung membeli Ibu. Berdasarkan hal tersebut dalam dikotomi ini dinyatakan bahwa bentuk lebih penting daripada substansi dalam ilmu kebahasaan atau linguistik.

6. Hubungan Paradigmatik dan Hubungan Sintagmatik

Hubungan paradigmatik yang dimaksud dalam dikotomi ini adalah hubungan derivatif atau inflektif serangkaian bentuk jadian dengan bentuk dasar dari unit bahasa, sedangkan hubungan sintagmatik merupakan hubungan yang diperoleh jika satuan-satuan diletakkan bersama dalam satu tindak tutur atau tindak bicara. Sebagai suatu contoh hubungan paradigmatif adalah pembentukan kata berimbuhan, sedangkan contoh hubungan sintagmatik adalah jika sebuah kata atau kata jadian diletakkan dalam sebuah struktur kalimat.

Hubungan Paradigmatik :

me-N+sapu menyapu

me-N +cuci mencuci

me-N+suci menyuci

Hubungan Sintagmatik:

Ibu mencuci semua pakaian adik yang kotor itu.

Mereka berusaha menyucikan lantai masjid di daerah itu.



4. STRUKTUR SINTAKSIS

Sintaksis adalah kajian atau aspek linguistik tentang prinsip, proses, prosedur, membentuk frasa, klausa, dan kalimat. Berbeda dengan tata bahasa (grammar). Sedangkan gramatika ialah seperangkat kaidah yang jumlahnya terbatas yang dapat dipakai untuk membentuk kalimat yang tak terbatas jumlahnya. Beberapa aliran sintaksis yang dapat dikenal adalah aliran tradisional dan aliran strukturalisme. Struktur sintaksis merupakan kajian dari aliran strukturalisme. Sebelum mengupas berbagai struktur sintaksis, dalam pembahasan ini akan diuraikan terlebih dahulu dua jenis aliran di atas, yaitu aliran tradisional dan strukturalisme.

Aliran Tradisional

Aliran tradisional ini bersifat preskriptif bukan deskriptif. Yang dimaksud dengan preskriptif adalah memberikan resep sintaksis dari bahasa Yunani. Resep dari bahasa Yunani dan Romawi ini dipandang tidak cocok untuk mendiagnosis berbagai macam bahasa yang lain, seperti bahasa Indonesia, Inggris, atau bahasa Jawa sekalipun. Analisis secara preskriptif mengharuskan analisis bahasa seperti seharusnya. Sedangkan analisis deskriptif melakukan analisis bahasa secara apa adanya.

Contoh:

a. Kategori kata dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris berbeda. Sebagai misal kata ‘mati’ dalam bahasa Indonesia merupakan kata sifat, sedangkan dalam bahasa Inggris merupakan kata kerja.

b. Bahasa Indonesia: “Hujan”

Bahasa Inggris : “It is raining” bukan sekedar “rain”

c. Bahasa Inggris : “Go away”

Bahasa Jawa : “Lungaa!” (ngoko)

“Sampeyan kesah!” (kromo)

“Katuran tindak!” (kromo inggil)

Aliran Strukturalisme

Aliran ini dipelopori oleh Frans Boas, ia tidak mau mempelajari bahasa-bahasa Eropa karena dianggab bahwa bahasa-bahasa Eropa telah terkontaminasi oleh resep bahasa Yunani dan Romawi. Beberapa temuan Frans Boas dalam bidang linguistik adalah: (a) masing-masing bahasa mempunyai komunikan sendiri-sendiri, (b) tidak ada satu bahasa pun di dunia ini yang lebih lengkap, indah, sempurna dari bahasa lainnya, (c) masing-masing bahasa itu lengkap, indah, sempurna, dan terhormat bagi penutur aslinya. Pendekatan yang dipelopori oleh Frans Boas merupakan strukturalisme yang deskriptif artinya menganalisis bahasa sebagaimana apa adanya.

Dalam pendekatan strukturalis dikenal empat struktur sintaksis (four syntactic structures), yaitu struktur modifikasi, struktur predikat, struktur komplementasi, dan struktur koordinasi.

1. Struktur Modifikasi (Structure of Modification)

Setiap bahasa mempunyai struktur modifikasi yang berbeda. Susunan unsur-unsur penyusun sebuah frase antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain mempunyai perbedaan. Dalam struktur modifikasi ditentukan bahwa sebuah susunan kata yang berupa frasa mempunyai elemen dan symbol sebagaimana di bawah ini.

a. Unsur/Elements : Head Modifier

Inti Penjelas

D M

b. Lambang/Symbol : or

(bergantung pada posisi yang menerangkan dan posisi yang diterangkan)



c. Contoh : a beautiful girl

lampu pijar
sangat cantik

2. Struktur Predikat (Structure of Predication)

Strutur predikat adalah susunan kata-kata dalam bahasa yang memberikan penekanan pada unsur predikat. Elemen dan symbol yang dipergunakan adalah sebagaimana tertera di bawah ini.

a. Unsur/Elements : subject dan predicate

topic dan comment

onoma dan rema

subjek dan predikat

b. Lambang/Symbol : p or q

c. Contoh : Uang p belanja
Habislah q harapan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Como Baixar