Sabtu, 19 Desember 2009

ETIKA BERKOMUNIKASI SEBAGAI BENTUK PRAGMATIK BERBAHASA

ETIKA BERKOMUNIKASI SEBAGAI BENTUK PRAGMATIK BERBAHASA


Agus Harianto

Kemampuan seseorang dalam berkomunikasi merupakan suatu hal yang tidak bisa dipaksakan harus terjadi secara sempurna. Ketidaksempurnaan ini disebabkan oleh banyak sekali faktor. Di antara faktor-faktor penyebabnya adalah beragamnya profil kemampuan pragmatik yang dimiliki oleh komunikan dan komunikator. Salah komunikasi bisa terjadi karena berbagai faktor pragmatik tersebut. Ketika seseorang melakukan kesalahan dalam tindak komunikasi, maka dapat dipastikan akan terjadi berbagai macam interpretasi yang salah yang menimbulkan terputusnya komunikasi. Salah satu factor yang harus diperhatikan dalam tindak komunikasi adalah maksim sopan santun. Etika yang baik dianalisis bisa membawa keberhasilan dalam komunikasi.

Kata Kunci: etika, komunikasi, pragmatik, bahasa, maksim, sopan santun



Pendahuluan

Kemampuan pragmatik yang harus dikuasai oleh seorang yang menjalin komunikasi dapat dipilah sebagai berikut: (1) memiliki kemampuan komunikatif, (2) mampu menerapkan prinsip kerjasama, (3) memiliki pengetahuan berbahasa, dan (4) mampu menyusun retorika berbahasa. Ketika seseorang menguasai keempat kemampuan tersebut dan menerapkannya dalam sebuah tindak tutur, akan tercipta komunikasi yang berkualitas sebagaimana yang diharapkan. Tetapi tentu saja masih harus diperhatikan bahwa dalam tindak komunikasi lisan yang terjadi antara dua orang atau lebih penguasaan kemampuan pragmatik tersebut haruslah secara dua arah bukan hanya searah.

Dalam bahasan ini akan kita bahas tentang tingkatan keberhasilan tindak tutur seseorang yang tidak pernah memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan kemampuan pragmatik tersebut. Sebagai sebuah contoh masalah adalah ilustrasu di bawah ini.

Ilustrasi 1:

Seseorang yang senantiasa membuat lawan bicara tersinggung dan sakit hati ketika berkomunikasi. Kadang sulit dibedakan kalimat yang seharusnya dipergunakan untuk bergurau atau untuk mengungkapkan sesuatu yang sebenarnya sangat serius. Ironisnya justru ia tidak merasa kalau telah melakukan kesalahan besar dengan menyakiti hati lawan bicara. Jika dilakukan penelitian tentang opini publik, maka ia akan mendapat penilaian yang sangat jelek atau sama sekali tidak mendapatkan nilai.

Ilustrasi 2:

Seseorang berbicara dengan sangat lantang dengan tidak memperhatikan kondisi akustik ruang dengan ludah menyemprot deras ke arah lawan bicara atau sebaliknya bersuara terlalu lemah sehingga tidak bisa didengar oleh lawan bicara. Hal ini masih diperparah dengan kondisi seakan-akan pembicara benar-benar menguasai materi yang dibicarakannya, padahal pada kenyataannya yang terjadi hanyalah sekedar bualan. Opini publik mengatakan orang ini mempunyai kelainan psikologis yang patut dikasihani.

Jika dianalisis dari sisi psikologis, maka akan didapatkan bahwa kondisi psikologis orang yang bersangkutan benar-benar dalam keadaan sangat memprihatinkan. Tidak layak untuk mendapatkan apresiasi positif. Tetapi jika tinjauan didasarkan pada sisi pragmatik tampaknya akan didapatkan sesuatu yang cukup luar biasa.


Kemampuan Retorika dalam Tindak Tutur

Dalam sebuah tindak komunikasi kemampuan retorika merupakan hal yang benar-benar mutlak harus diperhatikan sehingga tidak menimbulkan hal-hal yang bersifat ambigu. Ambiguitas makna dalam komunikasi berdasarkan retorika bisa terjadi karena unsur gramatika, logika, etika, dan unsur retorika. Salah satu unsur retorika dalam tindak tutur yang harus diperhatikan adalah maksim sopan santun. Maksim sopan santun memberikan tuntunan kepada semua orang untuk bisa berkomunikasi dengan baik dan sempurna sebagaimana yang dikehendaki dalam tujuan interaksi. Maksim sopan santun berkenaan dengan hubungan antara dua orang yang melibatkan orang ketiga (yang hadir secara langsung atau tidak langsung dalam interaksi).

Sebagaimana diuraikan oleh Geoffrey Leech (1993) dalam Prinsip-Prinsip Pragmatik, maksim sopan santun cenderung berpasangan. Di antara yang termasuk ke dalam maksimn sopan santun adalah maksim kearifan, maksim kedermawanan, maksim pujian, maksim kerendahan hati, maksim kesepakatan, dan maksim simpati. Leech (1993: 206-207) memberikan contoh dan batasan-batasan untuk maksim-maksim sopan santun sebagaimana terurai di bawah ini:

a. Karifan : Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin, dan buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin.
b. Kedermawanan : Buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin, dan buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin.
c. Pujian : Kecamlah orang lain sesedikit mungkin, dan pujilah orang lain sebanyak mungkin.
d. Kerendahan Hati : Pujilah diri sendiri sesedikit mungkin, dan kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin.
e. Kesepakatan : Usahakan agar ketaksepakatan antara diri dan orang lain terjadi sesedikit mungkin, dan  usahakan agar kesepakatan antara diri dan lain terjadi sebanyak mungkin.
f. Simpati : Kurangilah rasa antipati antara diri dengan lain hingga sekecil mungkin, dan tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri dan lain.

Berdasarkan uraian tersebut maka dikatakan bahwa tindak komunkasi yang telah terjadi berdasarkan ilustrasi 1 di atas jelas-jelas menyimpang dari maksim sopan santun. Dalam ilustrasi 1 tampak sekali bahwa maksim kerendahan hati dan maksim pujian telah dengan sangat sengaja ditinggalkan. Ketika salah satu dari keenam maksim di atas telah diabaikan maka sebenarnya telah terabaikan pula keenam maksim sopan santun tersebut. Pada akhirnya tanpa berpikir dengan logika yang berlebihan pun kita dapat menyatakan bahwa orang yang melakukan tindak tutur dalam ilustrasi 1 tersebut benar-benar acuh dan tidak pernah memperhatikan kepentingan orang lain. Maksim kerendahan hati telah diingkari dengan hanya memperhatikan kepentingan diri sendiri, mengecam orang lain, dan senantiasa membenarkan diri sendiri.

Sementara itu pada ilustrasi 2 tampak sekali adanya pengingkaran terhadap maksim kearifan. Seseorang yang senantiasa berpikir dan bertindak dengan penuh kearifan akan berbicara dengan mempertimbangkan bagaimana orang lain mendapatkan keuntungan bukan kerugian dari tindak tutur yang terjadi bersamanya. Ketika lawan bicara merasa sangat terganggu dan merasa tidak nyaman dalam proses komunikasi maka sebenarnya telah terjadi pengingkaran secara sepihak terhadap maksim kearifan. Terjadinya pengingkaran ini bisa disebabkan karena faktor gramatika yang meliputi fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Dalam kasus seperti pada ilustrasi 2 di atas unsur fonologis tampak nya menjadikan faktor utama penyebab terjadinya kasus tersebut. Hal tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi jika pelaku mempergunakan kaidah fonologis dengan kesadaran bahwa tatabunyi bahasa merupakan hal mutlak yang harus diutamakan dalam komunikasi lisan. Ketika pembicara menaikkan nada lebih tinggi atau secara monoton menggunakan nada yang relatif tinggi dan parau maka sudah terjadi interferensi terhadap makna dan etika sopan santun. Aspek fonologi dalam kasus ini berpengaruh terhadap interaksi sebagaimana dikonsepkan oleh (Leech, 1993:19) “... aspek-aspek fonologi yang berhubungan dengan pragmatik (misalnya menaikkan nada kalimat) untuk menunjukkan sopan santun berinteraksi langsung dengan pragmatik…”.

Dalam tindak komunikasi,penguasaan terhadap unsur-unsur retorika berbahasa memang sangat diperlukan. Ketika unsur-unsur retorika tersebut bisa dipahami dan dipergunakan dalam tindak tutur, dipastikan akan terjadi proses komunikasi yang baik sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Kemampuan retorika yang menjadikan semua tindak komunikasi berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan aspek-aspek metalinguistik sopan santun.

"Sopan santun tidak hanya terungkap dalam isi percakapan, tetapi juga dalam cara percakapan dikendalikan dan dipola oleh para pemeran sertanya. Misalnya, dalam percakapan, perilaku tertentu mengandung implikasi-implikasi tidak sopan, seperti berbicara pada saat yang keliru (menyela) atau diam pada saat yang keliru. Karena itu bila kita menuturkan sesuatu, kita kadang-kadang merasa perlu untuk menyebut tindak ujar yang sedang kita lakukan atau yang dilakukan oleh pemeran serta yang lain, supaya kita dapat memohon suatu jawaban, meminta izin untuk berbicara, meminta maaf atas kata-kata, dan sebagainya" (Leech, 1993: 219).

Konsep di atas tampaknya memang sudah menjadi sebuah fenomena sosial yang telah membudaya pada masyarakat kita (Indonesia), bahwa budaya mendengar kita tertinggal sangat jauh jika dibandingkan dengan bangsa Amerika. Maka ketika sering terjadi interupsi atau pemotongan terhadap pembicaraan seseorang sudah menjadi sesuatu yang sangat wajar. Bahkan hal tersebut pun juga terjadi juga di forum-forum ilmiah dan forum-forum kenegaraan. Karena merasa bahwa dirinyalah yang paling benar, dengan penuh ambisi dan anarkis sekali seseorang memotong atau menyela seorang yang sedang berbicara. Kedudukan moderator sebagai seorang pemandu diskusi kadang tidak dipedulikan lagi. Inilah fenomena yang terjadi di negeri ini yang lebih mengedepankan kemampuan berbicara daripada kemampuan mendengarkan orang lain. Hal ini pulalah yang telah memicu dengan terjadinya perlombaan besar-besaran untuk menjadikan diri sebagai orang hebat yang duduk di kursi legislatif.

Mengapa seseorang bertutur dengan penuh antusias dan merasa bahwa dirinyalah yang paling benar? Kejadian ini jelas tidak bisa dilepaskan dari bagaimana seseorang mempergunakan kemampuan gramatika, logika, etika, dan retorika berbahasa. Unsur etika dan retorika inilah yang sangat berperan dalam masalah ini. Jika seseorang memperhatikan apakah yang telah ia bicarakan memenuhi unsur kesantunan, keberterimaan, dan kesesuaian, maka dipastikan unsur retorika yang meliputi gagasan, komposisi, dan bahasa akan secara otomatis mendukung pencapaian tujuan komunikasi. Bagaimana mungkin gagasan yang telah dirancang dengan komposisi dan bahasa yang baik bisa diterima oleh pendengar atau lawan bicara jika kita menyampaikan tanpa memperhatikan unsur-unsur etika di atas?

Masalah yang senantiasa kita hadapi dalam tindak komunikasi adalah tidak adanya pola kerja sama yang baik antara pembicara dan pendengar. Komunikasi satu arah lebih sering terjadi darripada komunikasi dua arah yang lebih interaktif. Pada tataran komunikasi satu arah hanya terjadi perpindahan informasi tanpa ada tanggapan atau masukan baru bagi kita. Sedangkan pada tataran komunikasi dua arah tidak sekedar terjadi perpindahan informasi, tetapi juga terjadi pertukaran informasi yang memungkinkan terjadinya proses stimulus respon dalam bentuk tanggapan. Pada ilustrasi 2 di atas bisa saja terjadi dominasi komunikasi satu arah karena pembicara seakan-akan menguasai semua materi pembicaraan sehingga ingin menguasai proses komunkasi. Dalam kondisi seperti ini tidak terdapat penerapan prinsip kerjasama sebagaimana diungkap pada bagian awal tulisan ini. Pendengar hanya dianggap sebagai seseorang yang hanya patut untuk menerima sesuatu tanpa melihat sisi lain bahwa pendengar juga mempunyai hak dan mampu menyampaikan sesuatu. Hal ini merupakan salah satu bentuk bentuk hambatan dalam tindak tutur yang interaktif.

Lantas seperti apakah model komunikasi yang benar-benar mendasarkan penggunaan etika sebagai wujud pragmatik berbahasa? Jawaban paling sederhana adalah ketika kita mencoba untuk mengerti apa yang dikehendaki oleh orang lain sebagai lawan bicara. Untuk bisa mengerti apa yang sebenarnya dikehendaki lawan bicara kita bisa mempergunakan keenam dari maksim-maksim sopan santun, yaitu maksim kearifan, maksim kedermawanan, maksim pujian, maksim kerendahan hati, maksim kesepakatan, dan maksim simpati.

Kemampuan Berpragmatik Menunjukkan Kualitas

Selama ini terjadi pemahaman yang salah tentang bagaimana menafsirkan pengertian pragmatik. Pragmatik dianggap hanya sebagai salah satu kemampuan atau keterampilan berbahasa. Ketika sudah terjadi pergeseran pemahaman dan pengetahuan linguistik, pada akhirnya kita menyadari betapa luasnya kajian pragmatik. Pragmatik menjadi salah satu master kelimuan dalam ketatabahasaan. Kemampuan berkomunikasi dalam segala macam bentuk dan sifatnya tidak bisa dilepaskan dari kajian pragmatik. Sebagai dasar dalam tindak komunikasi maka sudah seharusnya pengetahuan tentang pragmatik dan kemampuan berpragmatik menjadi bagian dari keilmuan atau pengetahuan semua orang terutama yang berprofesi terkait dengan penyampaian informasi kepada khalayak, seperi dosen, guru, dokter, resepsionis sebuah hotel, dan lain-lain.

Beberapa masalah yang terjadi dalam eraglobal adalah rendahnya kualitas komunikasi yang menyebabkan terhambatnya perkembangan dan transfer keilmuan dan pengetahuan. Hal ini tentunya harus segera mendapat perhatian serius dari semua orang terutama para pakar komunikasi. Tentu saja penguasaan bahasa asing bukan satu-satunya penentu keberhasilan dalam ereglobal ini. Bagaimana teknik berkomunikasi yang benar, dengan retorika yang tepat, dan memperhatikan prinsip-prinsip pragmatik berbahasa inilah yang menjadi dasar utama terbentuknya kualitas komunikasi yang diharapkan.

Dalam keseharian kita sering bertutur kata dengan tidak memperhatikan ketepatan dan kebenaran tatabahasa yang kita pergunakan. Kadang terjadi kesalahan pemahaman terhadap sebuah konsep yang sering dipergunakan. Tetapi kesalahan pemahaman tersebut seakan tidak menjadikan sesuatu yang dianggap sebagai sebuah kesalahan. Hal ini sudah dianggap sebagai sebuah kewajaran yang tidak perlu diperdebatkan. Sebagai contoh adalah pemahaman terhadap konsep semantik dan sintaksis yang senantiasa menimbulkan kesalahan penafsiran makna (ambiguitas makna). Salah konsep ini sudah berkembang menjadi salah kaprah berbahasa yang diangap benar secara awam yang berdampak terhadap melemahnya kualitas komunikasi.

Ilustrasi 3:

Seseorang yang senantiasa berbicara dengan memberikan penekanan yang berulang-ulang pada bagian yang dianggap penting. Penekanan tersebut dilakukan dengan jalan memakai gaya bahasa perulangan baik yang bersifat anafora, repetisi, maupun paralelisme. Keyakinan akan kebenaran konsep yang disampaikannya dengan gaya bahasa perulangan seakan menyiratkan bahwa konsep dirinyalah yang paling tepat. Secara logika memang dapat dikatakan bahwa konsep yang disampaikannya benar, tetapi jika ditinjau dari sudut pandang yang sedikit saja berbeda sebenarnya konsep tersebut belum menunjukkan adanya kajian ilmiah yang dapat dikatakan valid.


Ilustrasi 3 di atas menunjukkan betapa penguasaan terhadap prinsip-prinsip pragmatik berbahasa yang lemah. Apakah tujuan komunikasi akan tercapai? Yang jelas dengan tingginya frekuensi gaya bahasa perulangan ini justru akan melemahkan kualitas komunikasi karena kejenuhan dan kebosanan yang dialami lawan bicara. Lawan bicara atau orang lain tidak didudukan sebagai orang yang harus dipuji dan diuntungkan tetapi justru mendudukan orang lain sebagai orang yang tidak mengerti tentang sesuatu hal. Ini berarti prinsip keindak ujaran arifan dan prinsip pujian masih belum diperankan sebagimana mestinya.

Semua hal di atas tentu saja tidak bisa dilepaskan dari kaidah atau maksim sopan santun atau tatakrama berbahasa. Hal ini terkait dengan pendapat yang disampaikan oleh Leech di atas. Di sisi lain Tarigan (1987: 89-90) meyatakan berdasarkan pengalaman sehari-hari kita mengetahui bahwa kesopansantunan bisa diwujudkan bukan hanya dalam isi percakapan, melainkan juga dalam cara mengelola percakapan serta strukturnya. Sebagai contoh adalah perilaku percakapan seperti berbicara pada saat yang salah (menginterupsi, menyela) atau diam tidak pada waktunya mempunyai implikasi-implikasi yang tidak sopan. Sebagai akibat kadang-kadang diperlukan acuan berupa keikutsertaan semua lawan bicara.

Pada akhirnya kita sampai pada sebuah simpulan bahwa metalinguistik perlu kita pergunakan sebagai penyiasatan dalam tindak komunikasi agar tercipta suatu bentuk komunikasi yang sebagimana diharapkan. Dengan mempergunakan metaliguistik sebagaimana yang dimaksud sangat dimungkinkan fleksibilitas akan menghasilkan suatu bentuk kebahasan yang lebih baik dan lebih bisa nwujudkan tujuan komunikasi.



KEPUSTAKAAN
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsi Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia.
Tarigan, Henry Guntur. 1987. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa

1 komentar:

  1. Pak Agus, tulisan bapak sangat membantu saya untuk memahami pragmatik. Saya mohon izin bapak untuk menggunakan tulisan bapak di atas dalam tugas saya tentu saja dengan penulisan nama bapak dan sumbernya
    trima kasih pak...

    BalasHapus

Como Baixar