Masihkah Kita Mencari Jati Diri?
oleh: Agus
Harianto, M.Pd.
Hilangnya
ideologi dan menurunnya pemahaman
kebangsaan dirasakan sebagai suatu bentuk kepincangan sosial budaya yang sudah
demikian parah mengakar dalam sendi-sendi kehidupan di negeri ini. Berbagai
bentuk penyimpangan sosial dan budaya telah mendominasi segala aspek
perikehidupan kita. Parahnya hal ini justru tidak kita rasakan sebagai suatu
hal yang mengkhawatirkan, malah kita anggap sebagai suatu bentuk kewajaran yang
memang sudah seharusnya terjadi. Hal ini merupakan sebuah sistem sosial yang
pada akhirnya menjadi sebuah standar budaya yang harus dianut oleh semua orang.
Sementara itu
dalam bentuk yang tidak bisa dideteksi oleh ilmu pengetahuan yang paling
canggih sekalipun, sebenarnya telah terjadi suatu bentuk penyimpangan sosial
yang telah mencapai stadium kritis. Kondisi ini benar-benar menjadikan sebagian
besar dari para pemerhati sosial dan budaya yang memiliki kepedulian merasa
sangat gerah tetapi tanpa bisa berbuat sesuatu yang berarti.
Dalam beberapa
dekade belakang ini kita disibukkan dengan upaya untuk memerangi pengaruh
budaya asing yang merusak sendi-sendi kebudayaan di negeri ini. Secara formal
banyak sekali seminar, simposim, diskusi-diskusi ilmiah digelar untuk
membicarakan hal ini. Betapa kita tahu dengan sebenar-benarnya kondisi negeri
ini. Budaya formalitas dan legalitas menjadi nomor satu, bahkan sudah dianggap
sebagai sebuah bentuk solusi dari masalah berjenis apapun. Semangat berdebat
dan berdiskusi, sangat luar biasa dalam sebuah forum ilmiah. Pola argumentasi
macam apapun harus diupayakan dalam berdebat tersebut. Namun, sangat
disayangkan jika semua hanya terbatas pada kajian teori yang jauh dari kondis
nyata.
Berbicara
tentang dekadensi moral, karakter bangsa, jati diri bangsa atau bahkan
kebudayaan nasional akan banyak sekali kita jumpai fenomena yang sangat
mengejutkan. Banyak kejadian baik berskala lokal, regional, maupun nasional yang tidak pernah
mendapat perhatian ternyata merupakan sebuah fenomena fundamental yang menjadi
ciri penanda karakter bangsa ini. Banyak hal kecil yang lepas dari deteksi para
pengamat, para kritikus, atau para pemerhati lainnya. Sebagai sebuah contoh
adalah tentang pendidikan karakter bangsa.
Pendidikan
karakter bangsa dikatakan atau diyakini mengubah segala pemersalahan baik
berupa dekadensi moral maupun berbagai kegiatan yang terjadi dimasyarakat kita.
Telah dicanangkan dengan segala seluk-beluknya bahwa pendidikan karakter bangsa
harus benar-benar dilaksanakan secara serius sehingga mampu mengubah kondisi
bangsa ini. Berbagai pelatihan dan penelitian telah dilakukan untuk mengetahui seperti
apakan sebenarnya harus dilaksanakan pendidikan karakter bangsa.
Lantas apakah
yang sebenarnya pendidikan karakter bangsa itu? Mengapa kita mencanangkan hal
ini? Apakah ini berarti kita tidak mempunyai karakter? Untuk mampu menjawab
semua pertanyaan tersebut, ada baiknya kita menoleh pada perjalanan panjang
sejarah pejuang bangsa ini. Kebesaran bangsa kita pada masa lalu merupakan
bukti bahwa sejak dahulu bangsa kita sudah mempunyai karakter yang tidak bisa
dianggap remeh. Kebesaran Sriwijaya, Singosari, Majapahit, Demak, dan Mataram
adalah sebuah bentuk bukti bahwa bangsa kita sebenarnya mempunyai jati diri
yang hebat dan luar biasa. Jati diri yang menandakan bahwa pemiliknya
dipastikan mempunyai karakteristik yang hebat pula.
Kita mengenal
tokoh Ken Arok, Gajah Mada, Panembahan Senopati, dan banyak tokoh besar lainnya
yang mampu membentuk bagaimana bangsa Indonesia ini pada setiap masanya.
Kehadiran tokoh-tokoh besar tersebut kadang mengundang kontroversi yang
berlebihan. Sebagai satu contoh bahwa sebesar apapun keagungan Ken Arok, ia
tetap dikenal sebagai seorang pencuri di padang Karautan. Sehebat apapun Gajah
Mada dengan sumpah saktinya Hamukti Palapa, tetap saja ia dikenal sebagai
seorang tokoh yang memicu terjadinya perang bubat. Tetapi kadang kita lupa
bahwa orang-orang besar itulah yang telah memberi warna hebat pada perjalanan
panjang bangsa ini. Orang-orang hebat inilah yang jelas-jelas memberikan bentuk
pada karakter bangsa kita yang sebenarnya.
Dalam
perjalanan lebih lanjut ketika bangsa kita dininabobokan kebodohan yang dengan
sengaja diciptakan oleh bangsa penjajah, tetap saja jati diri kita sebagai
bangsa yang besar tidak hilang dan tergerus oleh budaya penjajah. Dengan
segenap daya, berdarah-darah, dengan pengorbanan tiada tara jati diri bangsa
ini tetap saja terjaga. Segala bentuk manipulasi budaya yang akan menghancurkan
nilai-nilai unggul bangsa ini bisa diselesaikan dengan tepat. Jati diri dan
karakter bangsa ini tetap utuh dan terjaga. Kita tetap menjadi bangsa yang
murni dengan jati diri dan karakter keindonesiaan dan kebhinekaannya.
Sebenarnya apa
yang telah terjadi dengan bangsa ini? Mengapa kita seakan kehilangan jati diri
dan karakter bangsa ini? Semua warga negara terutama di dunia pendidikan
seakan-akan dipaksa untuk mengembalikan jati diri bangsa yang telah hilang.
Seakan-akan karakter diri kita sudah berubah jauh dari budi pekerti luhur
bangsa kita masa sebelum ini. Inilah polemik berkepanjangan yang seharusnya
tidak perlu terjadi. Tampaknya kita sudah dirusak oleh saudara-saudara kita
sendiri. Karena kepentingan pribadi dan golongan sudah berada di atas
kepentingan besar bangsa ini, maka telah terjadi saling mendahului untuk
mendapatkan apa yang diinginkan.
Kondisi ini
memancing timbulkan efek lain yang secara tidak sengaja telah kita ciptakan.
Sebagai sebuah contoh, tayangan televisi kita sudah cenderung mementingkan
berapa keuntungan yang diraih daripada berpikir tentang efek dari tayangan
tersebut. Kecenderungan demi kecenderungan terus saja berkecamuk dalam
perikehidupan berbangsa ini. Sayangnya semua kecenderungan itu justru membentuk
karakter calon penerus bangsa ini mengalami perubahan karakter yang cukup
membahayakan. Membahayakan bagi kelangsungan bangsa ini jjika dilihat dari
sudut pandang budaya luhur bangsa kita sebelumnya.
Berdasar pada
semua hal tersebut saat ini kita mulai dikondisikan untuk bisa kembali pada
nilai-nilai luhur bagsa ini pada masa lalu. Dalam dunia pendidikan guru
merupakan garda depan yang bisa dianggap tokoh sentral pembentuan karakter
bangsa ini. Tidak salah memang jika para pendidik harus mampu menjadi contoh,
mampu membentuk karakter generasi ini. Pada kenyataannya guru memang harus
menjadi tokoh yang paling bertanggung jawab berkaitan dengan pembentukan karakter
generasi penerus bangsa ini. Jika guru benar-benar bisa melakukan tugas sesuai
dengan amanat yang diembannya, sangat mungkin bangsa ini ke depan akan menjadi
bangsa besar yang berudaya dan beradap.
Tetapi satu hal
yang tidak boleh kita lupakan adalah bahwa guru sebagai pembentuk karakter
peserta didik di sekolah mempunyai keterbatasan. Keterbatasan yang demikian
ketat membelenggu guru. Keterbatasan ini bisa dilihat dari sudut pandang
ketersediaan waktu bagi guru untuk terus mendampingi peserta didik, atau dari
sisi bagaimana guru kadang tidak terlindungi secara hukum atau HAM. Keberadaan
peserta didik di sekolah sangat terbatas. Terbatasnya waktu itulah yang menjadikan kendala tersendiri. Di sekolah guru
memberikan batasan-batasan yang jelas untuk membentuk karakter peserta didik
sebagaimana yang telah diharapkan oleh bangsa ini, tetapi di luar sekolah
pengaruh lingkungan yang demikian hebat justru memorakporandakan semuanya. Kondisi
ini masih diperparah dengan keberadaan keluarga yang sangat tidak jelas bagi
kelangsungan perkembangan psikis anak. seharusnya antara pihak sekolah,
lingkungan, dan keluarga harus seiring sejalan membentuk karakter anak . Dengan
demikian sekolah, lingkungan, dan keluarga harus menjadi sebuah kekuatan yang tritunggal.
Belum lagi jika
terjadi permasalahan yang sedikit bersifat kekerasan, guru benar-benar tidak
lagi bisa mendapatkan perlindungan. Sebelum HAM digulirkan guru dengan penuh
keberanian dan kepercayaan diri yang utuh memberikan pelayanan kepada peserta
didik dengan segala macam bentuk dan versi. Tentu saja semua yang dilakukan
guru dengan tujuan memberikan layanan terbaik sesuai dengan kebutuhan. Tetapi
ada kalanya pihak-pihak tertentu justru menjadikan ini sebagai titik lemah yang
bisa dipakai untuk mengkritisi guru sebagai pendidik. Keberadaan HAM justru
membelenggu guru dalam memberikan pendidikan karakter yang sebenarnya. Sedikit
saja guru melakukan atau memberikan sanksi fisik suda harus berurusan dengan pihak
kepolisian. Maka tidak bisa disalahkan juga jika pada akhirnya banyak di antara
guru Indonesia yang lebih baik mencari titik aman sehingga bertindak sangat
hati-hati yang pada akhirnya cenderung bersikap apatis. Hal ini sudah barang
tentu merupakan kerugian bagi bangsa ini.
Jika kondisi
ini terus berlanjut, maka sampai kapan kita akan terus mencari jati diri kita
yang dinyatakan hilang? Nah!
Jati diri merupakan bagian dari hidup. Jika masih harus mencari, maka apakah jati diri itu sudah lepas dari hidup kita?
BalasHapusMengapa harus mencari jati diri?
BalasHapus