Selasa, 29 April 2014

Mencari Jati Diri



Masihkah Kita Mencari Jati Diri?
oleh: Agus Harianto, M.Pd.


Hilangnya ideologi dan menurunnya  pemahaman kebangsaan dirasakan sebagai suatu bentuk kepincangan sosial budaya yang sudah demikian parah mengakar dalam sendi-sendi kehidupan di negeri ini. Berbagai bentuk penyimpangan sosial dan budaya telah mendominasi segala aspek perikehidupan kita. Parahnya hal ini justru tidak kita rasakan sebagai suatu hal yang mengkhawatirkan, malah kita anggap sebagai suatu bentuk kewajaran yang memang sudah seharusnya terjadi. Hal ini merupakan sebuah sistem sosial yang pada akhirnya menjadi sebuah standar budaya yang harus dianut oleh semua orang.
Sementara itu dalam bentuk yang tidak bisa dideteksi oleh ilmu pengetahuan yang paling canggih sekalipun, sebenarnya telah terjadi suatu bentuk penyimpangan sosial yang telah mencapai stadium kritis. Kondisi ini benar-benar menjadikan sebagian besar dari para pemerhati sosial dan budaya yang memiliki kepedulian merasa sangat gerah tetapi tanpa bisa berbuat sesuatu yang berarti.
Dalam beberapa dekade belakang ini kita disibukkan dengan upaya untuk memerangi pengaruh budaya asing yang merusak sendi-sendi kebudayaan di negeri ini. Secara formal banyak sekali seminar, simposim, diskusi-diskusi ilmiah digelar untuk membicarakan hal ini. Betapa kita tahu dengan sebenar-benarnya kondisi negeri ini. Budaya formalitas dan legalitas menjadi nomor satu, bahkan sudah dianggap sebagai sebuah bentuk solusi dari masalah berjenis apapun. Semangat berdebat dan berdiskusi, sangat luar biasa dalam sebuah forum ilmiah. Pola argumentasi macam apapun harus diupayakan dalam berdebat tersebut. Namun, sangat disayangkan jika semua hanya terbatas pada kajian teori yang jauh dari kondis nyata.

Berbicara tentang dekadensi moral, karakter bangsa, jati diri bangsa atau bahkan kebudayaan nasional akan banyak sekali kita jumpai fenomena yang sangat mengejutkan. Banyak kejadian baik berskala lokal,  regional, maupun nasional yang tidak pernah mendapat perhatian ternyata merupakan sebuah fenomena fundamental yang menjadi ciri penanda karakter bangsa ini. Banyak hal kecil yang lepas dari deteksi para pengamat, para kritikus, atau para pemerhati lainnya. Sebagai sebuah contoh adalah tentang pendidikan karakter bangsa.
Pendidikan karakter bangsa dikatakan atau diyakini mengubah segala pemersalahan baik berupa dekadensi moral maupun berbagai kegiatan yang terjadi dimasyarakat kita. Telah dicanangkan dengan segala seluk-beluknya bahwa pendidikan karakter bangsa harus benar-benar dilaksanakan secara serius sehingga mampu mengubah kondisi bangsa ini. Berbagai pelatihan dan penelitian telah dilakukan untuk mengetahui seperti apakan sebenarnya harus dilaksanakan pendidikan karakter bangsa.
Lantas apakah yang sebenarnya pendidikan karakter bangsa itu? Mengapa kita mencanangkan hal ini? Apakah ini berarti kita tidak mempunyai karakter? Untuk mampu menjawab semua pertanyaan tersebut, ada baiknya kita menoleh pada perjalanan panjang sejarah pejuang bangsa ini. Kebesaran bangsa kita pada masa lalu merupakan bukti bahwa sejak dahulu bangsa kita sudah mempunyai karakter yang tidak bisa dianggap remeh. Kebesaran Sriwijaya, Singosari, Majapahit, Demak, dan Mataram adalah sebuah bentuk bukti bahwa bangsa kita sebenarnya mempunyai jati diri yang hebat dan luar biasa. Jati diri yang menandakan bahwa pemiliknya dipastikan mempunyai karakteristik yang hebat pula.
Kita mengenal tokoh Ken Arok, Gajah Mada, Panembahan Senopati, dan banyak tokoh besar lainnya yang mampu membentuk bagaimana bangsa Indonesia ini pada setiap masanya. Kehadiran tokoh-tokoh besar tersebut kadang mengundang kontroversi yang berlebihan. Sebagai satu contoh bahwa sebesar apapun keagungan Ken Arok, ia tetap dikenal sebagai seorang pencuri di padang Karautan. Sehebat apapun Gajah Mada dengan sumpah saktinya Hamukti Palapa, tetap saja ia dikenal sebagai seorang tokoh yang memicu terjadinya perang bubat. Tetapi kadang kita lupa bahwa orang-orang besar itulah yang telah memberi warna hebat pada perjalanan panjang bangsa ini. Orang-orang hebat inilah yang jelas-jelas memberikan bentuk pada karakter bangsa kita yang sebenarnya.
Dalam perjalanan lebih lanjut ketika bangsa kita dininabobokan kebodohan yang dengan sengaja diciptakan oleh bangsa penjajah, tetap saja jati diri kita sebagai bangsa yang besar tidak hilang dan tergerus oleh budaya penjajah. Dengan segenap daya, berdarah-darah, dengan pengorbanan tiada tara jati diri bangsa ini tetap saja terjaga. Segala bentuk manipulasi budaya yang akan menghancurkan nilai-nilai unggul bangsa ini bisa diselesaikan dengan tepat. Jati diri dan karakter bangsa ini tetap utuh dan terjaga. Kita tetap menjadi bangsa yang murni dengan jati diri dan karakter keindonesiaan dan kebhinekaannya.
Sebenarnya apa yang telah terjadi dengan bangsa ini? Mengapa kita seakan kehilangan jati diri dan karakter bangsa ini? Semua warga negara terutama di dunia pendidikan seakan-akan dipaksa untuk mengembalikan jati diri bangsa yang telah hilang. Seakan-akan karakter diri kita sudah berubah jauh dari budi pekerti luhur bangsa kita masa sebelum ini. Inilah polemik berkepanjangan yang seharusnya tidak perlu terjadi. Tampaknya kita sudah dirusak oleh saudara-saudara kita sendiri. Karena kepentingan pribadi dan golongan sudah berada di atas kepentingan besar bangsa ini, maka telah terjadi saling mendahului untuk mendapatkan apa yang diinginkan.
Kondisi ini memancing timbulkan efek lain yang secara tidak sengaja telah kita ciptakan. Sebagai sebuah contoh, tayangan televisi kita sudah cenderung mementingkan berapa keuntungan yang diraih daripada berpikir tentang efek dari tayangan tersebut. Kecenderungan demi kecenderungan terus saja berkecamuk dalam perikehidupan berbangsa ini. Sayangnya semua kecenderungan itu justru membentuk karakter calon penerus bangsa ini mengalami perubahan karakter yang cukup membahayakan. Membahayakan bagi kelangsungan bangsa ini jjika dilihat dari sudut pandang budaya luhur bangsa kita sebelumnya.
Berdasar pada semua hal tersebut saat ini kita mulai dikondisikan untuk bisa kembali pada nilai-nilai luhur bagsa ini pada masa lalu. Dalam dunia pendidikan guru merupakan garda depan yang bisa dianggap tokoh sentral pembentuan karakter bangsa ini. Tidak salah memang jika para pendidik harus mampu menjadi contoh, mampu membentuk karakter generasi ini. Pada kenyataannya guru memang harus menjadi tokoh yang paling bertanggung jawab berkaitan dengan pembentukan karakter generasi penerus bangsa ini. Jika guru benar-benar bisa melakukan tugas sesuai dengan amanat yang diembannya, sangat mungkin bangsa ini ke depan akan menjadi bangsa besar yang berudaya dan beradap.
Tetapi satu hal yang tidak boleh kita lupakan adalah bahwa guru sebagai pembentuk karakter peserta didik di sekolah mempunyai keterbatasan. Keterbatasan yang demikian ketat membelenggu guru. Keterbatasan ini bisa dilihat dari sudut pandang ketersediaan waktu bagi guru untuk terus mendampingi peserta didik, atau dari sisi bagaimana guru kadang tidak terlindungi secara hukum atau HAM. Keberadaan peserta didik di sekolah sangat terbatas. Terbatasnya waktu itulah yang  menjadikan kendala tersendiri. Di sekolah guru memberikan batasan-batasan yang jelas untuk membentuk karakter peserta didik sebagaimana yang telah diharapkan oleh bangsa ini, tetapi di luar sekolah pengaruh lingkungan yang demikian hebat justru memorakporandakan semuanya. Kondisi ini masih diperparah dengan keberadaan keluarga yang sangat tidak jelas bagi kelangsungan perkembangan psikis anak. seharusnya antara pihak sekolah, lingkungan, dan keluarga harus seiring sejalan membentuk karakter anak . Dengan demikian sekolah, lingkungan, dan keluarga harus menjadi sebuah kekuatan yang tritunggal.
Belum lagi jika terjadi permasalahan yang sedikit bersifat kekerasan, guru benar-benar tidak lagi bisa mendapatkan perlindungan. Sebelum HAM digulirkan guru dengan penuh keberanian dan kepercayaan diri yang utuh memberikan pelayanan kepada peserta didik dengan segala macam bentuk dan versi. Tentu saja semua yang dilakukan guru dengan tujuan memberikan layanan terbaik sesuai dengan kebutuhan. Tetapi ada kalanya pihak-pihak tertentu justru menjadikan ini sebagai titik lemah yang bisa dipakai untuk mengkritisi guru sebagai pendidik. Keberadaan HAM justru membelenggu guru dalam memberikan pendidikan karakter yang sebenarnya. Sedikit saja guru melakukan atau memberikan sanksi fisik suda harus berurusan dengan pihak kepolisian. Maka tidak bisa disalahkan juga jika pada akhirnya banyak di antara guru Indonesia yang lebih baik mencari titik aman sehingga bertindak sangat hati-hati yang pada akhirnya cenderung bersikap apatis. Hal ini sudah barang tentu merupakan kerugian bagi bangsa ini.
Jika kondisi ini terus berlanjut, maka sampai kapan kita akan terus mencari jati diri kita yang dinyatakan hilang? Nah!

2 komentar:

  1. Jati diri merupakan bagian dari hidup. Jika masih harus mencari, maka apakah jati diri itu sudah lepas dari hidup kita?

    BalasHapus
  2. Mengapa harus mencari jati diri?

    BalasHapus

Como Baixar