Kamis, 29 Januari 2009

ANTARA IDEALISME DAN REALISME

Mendidik generasi menjadi seorang pembaharu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan kewajiban seluruh warga negara yang tinggal di suatu wilayah kenegaraan. Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan beragam budaya, religi, dan suku yang tersebar ke dalam kurang lebih empat belas ribu pulau dalam bentangan garis khatulistiwa benar-benar memerlukan generasi-generasi yang terampil dan tangguh. Untuk membentuk generasi seperti yang diharapkan sudah barang tentu diperlukan campur tangan semua pihak yang merasa menjadi warga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Realitas yang terjadi tidak demikian mudah mendidik generasi penerus sebagaimana yang diharapkan oleh semua orang. Banyak sekali masalah yang berkaitan dengan peningkatkan kualitas generasi bangsa. Salah satu faktor dominan yang menentukan kualiatas generasi adalah pendidikan. Bagaimanakah dunia pendidikan di Indonesia? Inilah masalah utama yang merupakan bahasan kita dalam rubrik ini.


Guru adalah sosok yang harus bisa dijadikan tauladan, menjadi contoh dalam berbagai macam hal. Guru harus benar-benar memiliki profil yang sangat istimewa sebagaimana yang telah ditentukan dalam UU Guru dan Dosen. Banyak sekali tuntutan yang harus dipenuhi oleh seorang guru. Beragam tuntutan menjadikan guru seakan-akan harus tampil menjadi sosok yang nyaris sempurna. Banyaknya tuntutan yang harus dipenuhi oleh guru tersebut memang merupakan suatu hal yang wajar selama juga diimbangi dengan pemenuhan terhadap kesejahteraan guru. Dengan UU Guru dan Dosen, maka idealnya imbangan kesejahteraan guru akan terpenuhi. Tetapi mekanisme dan birokrasi yang berbelit dan hiperbolis menjadikan semua hal tersebut seakan senantiasa terhambat.
Ketika semua hal yang berhubungan dengan hak dan kewajiban seorang guru sudah terpenuhi, maka tuntutan profesionalisme secara legal akan mengalir melanda eksistensi seorang guru. Maka siapapun yang menyandang predikat guru professional harus mampu memberikan pertanggungjawaban moral dan hukum terhadap terhadap para siswa, orang tua/wali atau para stake holder di lingkungan tempat bekerja. Jika hal ini terjadi secara berimbang maka akan tercipta sebuah idealisme profesi yang sangat baik dan akan dapat mengantarkan terbentuknya generasi penerus sebagaimana yang diharapkan. Namun saat ini tampaknya masih jauh dari terbentuknya sebuah idealisme yang benar.
Ketika masyarakat semakin mengenal istilah kebebasan berpendapat yang dicontohkan oleh para tokoh kaliber nasional dan regional dalam sidang-sidang legislatif, atau yang ditunjukkan oleh para mahasiswa ketika berunjuk rasa dengan segala tingkah anarkisnya, maka masyarakat semakin pintar untuk mengkritisi segala bentuk kebijakan. Masyarakat juga menjadi lebih provokatif ketika mulai mengenal hukum. Dengan mudahnya mengajukan tuntutan klaim ketika terjadi tindak kekerasan, padahal justru yang mengajukan klaimlah yang seharusnya menerima klaim. Kondisi inilah yang terjadi di lingkungan masyarakat kita akhir-akhir ini. Pada akhirnya kondisi ini pun merebak dalam dunia pendidikan. Masyarakat yang dalam hal ini adalah wali murid demikian mudahnya melayangkan klaim terhadap suatu hal yang telah menjadi kebijakan sekolah.
Sebagai sebuah lembaga pendidikan, sekolah mempunyai otoritas untuk membentuk siswa sesuai dengan program kurikulum yang telah ditetapkan. Program-program yang telah ditetapkan tentu saja untuk dilaksanakan bukan sekedar untuk keperluan MoU (Memory of Understanding) belaka. Sebagai salah satu bentuk pengabdian kepada masyarakat, sekolah berusaha untuk mengendalikan kondisi moral dan psikis para siswa yang ada di bawah naungannya. Pengendalian diri siswa ini bisa diwujudkan dalam bentuk penegakan tata tertib siswa di sekolah. Tata tertib yang baik dan tepat guna tentunya yang mampu mengendalikan siswa dalam berbagai kondisi yang ada. Kondisi yang bervariasi memerlukan teknik dan manajemen yang tepat sehingga dapat menyelesaikan berbagai masalah yang kompleks. Salah satu bentuk atau teknik penyelesaian masalah dalam kondisi ini adalah pemberian sanksi yang tegas.
Tetapi sekali lagi yang terjadi di lapangan adalah sesuatu yang kadang berkebalikan dengan yang secara idealis diteorikan. Sebagai salah satu contoh adalah bagaimana rumitnya pengendalian tata tertib siswa di sekolah. Berbagai versi yang senantiasa kontroversi, berbagai pendapat yang selalu saling melemahkan, dan berbagai karakter yang terus saling mendramatisasi masalah menjadi lebih parah seakan tidak akan pernah berhenti. Ketika petugas pengendali tata tertib berusaha dengan susah payah menegakkan disiplin, justru terdapat pihak-pihak yang justru mementahkan dan melemahkannya. Bahkan lebih parah lagi ketika seakan melakukan pembelaan kepada para pelanggar tata tertib. Hal inilah yang justru menjadikan terjadinya tindak penyimpangan terhadap disiplin tertib di sekolah.
Kondisi ini menjadikan semakin maraknya kejadian orang tua atau wali melakukan tindakan klaim terhadap kebijakan sekolah. Demikian mudahnya terjadi klaim terhadap tindakan penegak kedisilinan di sekolah karena adanya dukungan secara tidak langsung justru dari pihak sekolah sendiri. Tentu saja hal ini akan melemahkan proses penegakan displin di sekolah. Kalau kondisi ini dibiarkan berkelanjutan, dapat dipastikan akan terjadi kemerotan kinerja guru yang berhubungan dengan peningkatan unsur pendidikan pada diri peserta didik. Hal ini terjadi karena sebagian dari guru dimungkinkan akan mengalami depresi dan apatisme terhadap peningkatan nilai-nilai pendidikan anak.
Sering terdengar informasi yang bersifat umpatan, klaim, atau bahkan bersifat pengaduan langsung terhadap pihak yang berwajib (polisi) tentang tindakan seorang guru yang berlebihan (menurut versi pengadu) baik secara fisik maupun psikis. Tetapi hal tersebut hanya bersifat satu arah tanpa diimbangi dengan informasi yang benar mengenai latar belakang terjadinya tindakan guru. Lebih parah lagi jika ternyata guru yang bertugas sebagai penegak disiplin tertib di sekolah ternyata tidak mendapat perlindungan hukum atau setidaknya perlindungan dari pimpinan (kepala sekolah). Maka jangan disalahkan jika pada akhirnya profil guru yang apatis akan masa depan siswa dan nilai didaktis akan semakin merebak di dunia pendidikan.
Media massa cetak dan elektronik pun kadang terlalu berlebihan dalam menyajikan pemberitaan. Seakan tidak ada lagi pertimbangan kode etik jurnalistik dan kode etik sosial, sehingga pembunuhan karakter seseorang dianggap sebagai suatu hal yang biasa terjadi dan penuh dengan kewajaran. Sebagai contoh adalah penayangan video hasil rekaman siswa tentang tindak kekerasan guru di Gorontalo. Apakah kita memang sudah yakin dengan kesalahan yang dilakukan oleh guru tersebut? Sementara siapapun yang berprofesi sebagai seorang guru pasti tahu bagaimana menghadapi puluhan siswa dengan karakter yang berbeda. Sebagaimana manusia biasa tidak mungkin seorang guru bisa bertindak sebagaimana seorang dewa atau malaikat yang tidak pernah marah/emosi. Apalagi jika profesi tersebut harus dihubungkan dengan tugas tambahan untuk mengatur ratusan bahkan lebih dari seribu siswa untuk bisa berdiri tegak dan tertib di lapangan, pasti diperlukan kekuatan emosi dan skill yang benar-benar bagus. Simpulannya dalam keadaan wajar tidak mungkin seorang guru akan melakukan tindakan yang berbau anarkisme.
Penegakan disipin tertib di sekolah memang akan senantiasa bertolak belakang dengan keberadaan bimbingan konseling dalam menyelasaikan masalah siswa. Disiplin tertib berstandar atau berpedoman pada bagaimana siswa bisa dikendalikan secara fisik dan psikis melalui pemberian sanksi terhadap pelanggaran aturan, sedangkan bimbingan konseling senantiasa mencari solusi secara psikis permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh siswa. Sudah barang tentu kedua sudut pandang ini tidak akan memperoleh titik temu jika sekolah sebagai lembaga tidak membuat sebuah formula yang tepat untuk membuat kolaborasi antara penegak disiplin tertib dan bimbingan konseling.
Ketika pada akhirnya semua guru sudah mendapatkan tunjangan profesi melalui sertifikasi guru dan dosen, terdapat beberapa wacana yang kadang tidak berdasar pada logika yang benar tetapi hanya berdasar rasa iri atau ketidakpuasan belaka. Beberapa di antara wacana tersebut di antaranya adalah masyarakat akan mengawasi kinerja guru, guru benar-benar harus hadir di sekolah 24 jam pelajaran selama lima hari kerja, guru yang mendapat tugas tambahan tidak lagi mendapat tambahan tunjangan kerja, dll. Tetapi tidak semua dari wacana tersebut berdasar pada logika yang tepat, satu contoh pada tunjagan tugas tambahan. Secara logis siapa yang akan mau bekerja keras tanpa mendapat perhatian apapun sementara yang lain yang bekerja secara normal kadang justru mendapat imbalan yang berlebih? Lantas siapa nanti yang akan menjalankan tugas-tugas staf sekolah (misal, wakasek), jika tidak ada lagi yang bersedia menduduki jabatan tersebut? Toh tugas guru cukup dengan memenuhi tuntutan 24 jam mengajarkan materi. Apakah 24 jam juga sudah termasuk dengan melakukan tindakan pendidikan kepada para siswa?
Semua kondisi ini sebenarnya tidak bisa hanya ditimpakan kepada keadaan global dan pengaruh teknologi yang sudah demikian parah, tetapi kalau kita sedikit siap untuk mawas diri, sebenarnya banyak juga kesalahan yang kita lakukan sebagai tenaga pendidik professional. Sebagai satu contoh adalah bagaimana kita menjawab pertanyaan berikut ini. Apakah ketika seorang guru yang tersertifikasi baik melalui jalur portofolio maupun diklat dan sudah menerima pencarian dana tunjangan profesi benar-benar telah mengalami perubahan dalam arti peningkatan kinerja? Beranikah kita menjawab dengan kata "sudah"? Jika tidak ada keberanian maka sebenarnya kita sebagai seorang guru juga harus berani menyalahkan diri sendiri dan mencoba untuk berbenah diri.
Mengakhiri tulisan ini, marilah kita mencoba untuk koreksi diri melalui lingkungan kerja kita masing-masing. Jika semua orang sudah beran berbenah di lingkungan masing-masing, dapat diastikan sistem akan berjalan sebagaimana yang telah ditentukan dan akan menghasilkan sesuatu yang jelas lebih bermanfaat bagi kita dan generasi penerus bangsa ini.
Agus Harianto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Como Baixar