Senin, 31 Mei 2010

Fatamorgana Biru

Deg..deg…deg, semakin kuat jantungku memompa darah ke sekujur tubuh. Kulambatkan tarikan gas motor matikku. Memasuki perbatasan itu benar-benar membuat aku semakin berharap dan berdebar. Wanita setengah baya dengan tubuh gembrot dan tinggi…seorang ibu yang kelihatan sangat matang dengan kedewasaannya, … atau seorang wanita muda dengan pesona yang tetap menarik walaupun beberapa kali melahirkan. Bayangan itu semakin membuatku berdebar dan terseret imajinasi belasan tahun silam ketika baru lulus SMA. “Rumahku nggak ada macannya kok, Kak!” Kalimat itu benar-benar membuatku melambung tinggi, angan-angan seorang pemuda yang masih sangat mentah dalam kehidupan. Bertemu beberapa kali, menjadi rutinitas, dan akhirnya jadian sehidup semati benar-benar merupakan suatu angan yang sangat indah. Seakan dunia benar-benar seperti kata orang yang sedang dimabuk asmara, yaitu hanya milik berdua.


Perbatasan desa telah kulewati, beberapa menit berikut aku telah melaju di depan rumah yang kutengarai adalah rumah yang kumaksud dalam anganku. Harapanku kandas tak kutemui seseorang di sekitar rumah itu. Pintu terbuka dan sepeda motor matik warna oranye diparkir depan rumah. Tak ada keberanian untuk berhenti. Aku terus melaju dan terus kutarik gas matorku. Kuputuskan untuk menapaki kembali rute cintaku belasan tahun silam. Masya Allah jalanan kampung telah rusak berat, tampaknya kita memang hanya bisa membangun tanpa mampu merawat padahal desa ini adalah desa nasional saat itu. Belum ada jalan kampung sebagus di desa ini kala itu. “Makasih ya Kak…! Mampir dulu nggak?” , katanya sambil tersenyum. Tentu saja tak kusia-siakan kesempatan itu. Pulang setelah bertukar buku harian. Buru-buru sampai di rumah, masuk kamar pura-pura sibuk ngerjaan tugas kuliah atau ngoreksi kerjaan anak-anak kubaca lembar-lembaran buku harian dengan hati berdebar-debar tetapi berbunga-bunga. Dan kutulis ekspresi hatiku yang tentu saja sangat konyol saat itu.

Kulewati dengan sendu jalan ini dengan kekecewaan. Kulewati rumah orangtuanya dengan sepi. Kesepian semakin menghimpitku. Aku istighfar beberapa kali. Ya Allah apa yang telah kulakukan ini. Hatiku telah mengkhianati keluargaku, kenapa harus kuturuti kata hati ini. Ingkarkah aku pada anak dan istriku, ataukah aku hanya ingin sekedar membalas dendam karena dulu aku dikhianati oleh seorang wanita yang benar-benar sangat aku kasihi dan membuatku jatuh ketika ia memutuskan menikah dengan pria pilihan orangtuanya? Saat itu memang tidak ada bahan yang bisa kujadikan perhitungan. Tak ada yang bisa kubanggakan, masa depan seorang mahasiswa kelas jauh yang sambil kerja sebagai tenaga sukarela di beberapa sekolah benar-benar tidak bisa kujadikan bahan perhitungan. Lantas benarkah aku hanya ingin membuat perhitungan dengan bahan yang kumiliki sekarang ini? Atau ada rindu dendam yang masih membara dalam relung hatiku?

“Kapan Dik Mita berangkat ke asrama, Pak?” salah seorang seniorku bertanya pada bapaknya Mita. Kami semua tahu Mita akan melanjutkan sekolah ke SPK, sehingga kami harus merelakan kepergiannya dari oraganisasi kami. “Ya … ggak tahu ya Mas, bergantung calon suaminya saja. Kan suaminya sekarang masih dinas Kalimantan. Itu lho Mas, ia seorang tentara. Kalau kami hanya nurut mereka saja. Katanya tiga bulan lagi tugasnya di sana selesai. Kalau pulang ya langsung saja nikah,…gitu kami sangat senang”. Kalimat-kalimat itu terdengar sangat menggembirakan bagi orang tua itu. Teman-temanku tersengat dan tanpa dikomando langsung menoleh ke arahku. Aku terpaku, tak ada yang bisa kulakukan kecuali hanya diam. Kembali Kak Dimas memecah keheningan, “Lho katanya mau melanjutkan sekolah ke SPK, apa benar gitu Pak?” Pak Darmo menghisap tembakaunya dan menghembuskannya dengan tergesa-gesa, “Ah, tidak kok Mas”.

Aku terkejut ternyata aku sudah kembali sampai di depan rumah itu. Dengan nekat aku berhenti tepat di depan rumah itu, tanpa turun dari motor aku keluarkan ponsel pura-pura cek SMS. Mataku jelalatan, aku berharap ada seorang wanita setengah baya dengan tubuh gembrot atau seorang ibu yang kelihatan sangat matang dengan kedewasaannya, … atau seorang wanita muda dengan pesonanya. Tetap saja harapanku kandas tak kutemui siapapun yang bisa mengobati rasa penasaranku. Benar-benar aku heran ke mana, di mana? Tak pernah kutinggalkan daerahku sampai sekarang. Aku tak pernah meninggalkan kampung halamanku kecuali untuk tugas belajar yang seberapa lama. Yang tak pernah kuharapkan selalu saja kutemui walaupun aku harus memeras keringat untuk mengingatnya. Aku tidak ingin selingkuh aku nggak ingin menodai kesucian cintaku pada istriku tersayang. Aku hanya ingin tahu seperti apakah keadaan wanita yang telah mencampakkan diri ini karena tak mempunyai masa depan. Sekarang aku memang sudah jauh lebih mapan, bahkan gelar S2 pun telah kusandang. Istriku kukuliahkan. Aku khianat pada istriku? “Nggak Ton, kamu nggak selingkuh kamu nggak khianat, kamu hanya ingin tahu dan menjawab pertanyaan dari kepenasaranmu saja. Kupikir semua orang akan mengalami hal itu. Puaskan hatimu tapi jaga hatimu”, pesan Mas Wied beberapa saat lalu. Tapi kenapa hatiku jadi sepi ketika tak menemukan apa-apa dan siapa-siapa yang kuharapkan di situ?
Bersambung!

4 komentar:

  1. kok bersambung pak?

    BalasHapus
  2. Seorang lelaki yang mengenang kisah cintanya di masa lalu. Kenangan tersebut selalu
    menghantui lelaki itu, alhasil pada suatu hari lelaki itu mendatangi rumah seseorang
    dalam angannya, tetapi harapannya kandas karena tak ditemui siapa pun di sekitar
    rumah itu. Ia kembali pulang dan menelusuri jalanan tersebut dengan kekecewaan.
    Ia berfikir, mengapa ia mengikuti kata hatinya untuk mencari kekasih dimasa lalu.
    Apakah ia akan balas dendam karena dikhianati oleh wanita yang benar-benar ia kasihi?

    BalasHapus

Como Baixar