Jumat, 05 Desember 2008

ANTARA DARWIN DAN BUDAYA

Kehidupan manusia telah mengalami perkembangan yang luar biasa. Perkembangan yang dimulai dari tingkat keprimitifan sampai pada era globalisasi inbi sebenarnya merupakan sebuah evolusi kehidupan yang berhasil gemilang. Bagaimana tidak, kalau hasil evolusi itu telah mampu membangkitkan kehidupan baru yang lain dari dulu, bahkan mamou mengejawantahkan imajinasi para ambisius masa lalu. Darwin dengan teori evolusinya telah menggemparkan dunia, terutama masyarakat agama. Kalau memang Darwin salah dengan teorinya, paling tidak kita tahu bahwa kita sebenarnya mengalami evolusi pada sisi lain. Kita telah mengalami perkembangan kebudayaan dan peradaban. Apakah ini bukan sebuahb evolusi? Jawabnya tentu saja benar bahwa itu adalah sebuah evolusi peradaban. Nah sebagai manusia budaya apakah kita pernah berpikir untuk menggemparkan dunia seperti Darwin?
Charles Darwin mungkin saja tidak pernah berpikir sebelunya, bahwa ia akan menggemparkan dunia dengan teori evolusinya yang menyatakan bahwa manusia mempunyai hubungan kekerabatan dengan kera(ordo: primate). Namun paling tidak Darwin telah membuka mata pikir masyarakat ilmuwan dunia untuk mulai berpikir tentang jati diri manusia. Tentu saja hal ini harus kita lepaskan dari kajian agama.
Kembali pada manusia sebagai insan budaya, manakah yang benar antara manusia sebagai subjek (pelaku) budaya atau manusia sebagai objek kebudayaa? Hal ini memerlukan pemikiran yang jernih dan tidak boleh tergesa-gesa. Djojodigoeno (1985:-) dalam Ilmu Budaya Dasar (Sastrosupono, 1984:14-15) menyatakan bahwa budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa. Cipta adalah segala kerinduan manusia untuk mengetahui rahasia segala hal yang ada dalam pengalamannya, yang meliputi pengalaman lahir dan batin. Hasil cipta berupa ilmu pengetahuan. Karsa adalah segala kerinduan manusia untuk menginsyafi tentang hal 'sangkan paran'. Dari manusia sebelum lahir (sangkan) dan ke mana manusia setelah mati (paran). Dari sangkan tersebut hasilnya adalah norma-norma keagamaan/kepercayaan. Rasa adalah kerinduan manusia akan keindahan, sehingga ,menimbulkan dorongan baginya untuk menikmati keindahan.
Sementara itu Sastrosupeno (1985:15) menjelaskan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar yang semuanya tersusun dalam tata kehidupan bermasyarakat.
Dari pengertian kebudayaan tersebut kita dapat menarik suatu kesimpulan bahwa manusia adalah pelaku /subjek budaya, namun ada kalanya manusia akan menjadi objek kebudayaan tersebut. Jika manusia sudah menjadi objek kebudayaan, kefatalan yang muncul sebagai akibatnya. Berarti manusia bukan lagi sosok pemikir, pengonsep, perencana, dansebaginya melainkan sebagai benda mati yang siap untuk dijadikan objek oleh kebudayaan yang ada.
Pada dasarnya kebudayaan dan peradaban itu datangnya dari manusia yang berpikir untuk diri mereka sendiri. Sebaliknya bagi mereka yang tidak pernah mau berpikir maka 'dia' justru akan menjadi objek/makanan dari kebudayaan tersebut. Dia akan terbelenggu erat oleh mata rantai budaya yang sempit dan feodalis. Nah, bagaimana dengan kita?
Sudah barang tentu kita harus mampu menjadi manusia budaya (baca: berbudaya) seutuhnya yang mampu memberikan keseimbangan (balance) antara menjadi subjek dan objek kebudayaan. Masalah yang timbul adalah bagaimana caranya untuk dapat menjadi manusia budaya yang ber-"balance". Untuk dapat menjadi manusia yang ber-"balance" diperlukan cara berpikir yang logis, berwawasan luas, dan tahu/paham maksud sebenarnya dari kebudayaan. Dengan begitu kita akan dapat terhindar dari krisis dekadensi budaya.
Dekadensi budaya ini terjadi karena salah menginterpretasikan kebudayaan. Wujud dari dekadensi budya ini adalah kemerosotan moral, kemerosotan nilai-nilai adiluhung bangsa, mulai menipisnya rasa kegotongroyongan yang menjadi cirri khas bangsa, mulai pudarnya cinta terhadap hasil karya seni budaya adilihung, dsb. Sebagai contoh, kesenian wayang kulit yang demikian agung karena memuat hampir semua nilai kehidupan Jawa, ternyata hanya mampu menggaet secuil lapisan masyarakat yang memang berkepentingan dalam bidang itu. Sebagian besar masyarakat terutama kalangan muda tidak ambil peduli lagi terhadap kesenian wayang. Bahkan tampak lebih cenderung pada musik barat yang brang, breng, brong.
Benarkah ini suatu pertanda evolusi yang lebih buruk bagi kelangsungan hidup budaya bangsa_kebudayaan nasional? Ataukah hanya sebuah fenomena karena manusiaIndonesia tidak mampu lagi menjadi manusia budaya yang berkeseimbangan (balance of human culture)? Dan benarkah teori evolusi Darwin akanmenjadi boomerang bagi manusia? Nah!
Agus Harianto, S.Pd.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Como Baixar