Rabu, 03 Desember 2008

Sudut Kepribadian Manusia

Semakin arif dan bijaksana seseorang, semakin siap dan matang menghadapi hidup. Sehingga jika ada pepatah mengatakan bahwa semakin tinggi pohon semakin kuat angin yang menghempasnya, sudah sepatutnya kita untuk memperthatikannya. Kata-kata tersebut bukan sekedar kata-kata manis yang berbau ungkapan, melainkan kata-kata hikmah yang bisa kita buktikan kebenarannya. Banyak orang marah, merasa direndahkan, benci, jengkel, dan bermacam-macam perasaan yang lain jika mendapat hujatan dari orang lain. Emosi yang meluap-luap menjadikan kita lupa akan keadaan dan eksistensi diri. Yang terasa saat itu hanyalah kein ginan untuk segera meluapkan rasa marah, benci, jengkel, yang berkecamuk di hati. Pada saat yang sama kita mempunyai asumsi bahwa kita tidak mempunyai kesalahan, kita benar mengapa masih dicaci, dihujat, bahkan mungkin difitnah? Untuk itu kita harus segera menyelesaikannya saat itu pula, tidak bisa tidak! Dan kita merasa yakin, kita pasti mampu menyelesaikannya, tanpa memperhitungkan bagaimana kondisi kemampuan diri kita sendiri.
Kehadiran orang ketiga yang bisa bersifat sebagai tokoh tirtagonis/tokoh penengah kadang bisa menolong untuk meredakan emosi kita, sehingga kita bisa berpikir lebih jernih. Tentu saja orang ketiga ini harus benar-benar netral dan ada di luar garis. Jika orang ketiga ada di dalam garis atau mempunyai kepentingan pribadi, misaklnya sengaja memancing di air keruh, bisa saja justru menambah parahnya suasana hati kita. Sebaiknya kita berhati-hati terhadap orang ketiga, agar kita tidak semakin terperosok dalam kekalutan pikiran dan meledak-ledaknya emosi.
Dalam keadaan seperti ini jalan yang paling tepat untuk menyelesaikan masalah adalah dengan meredakan emosi diri kita terlebih dahulu. Tidak mungkin kita mampu berpikir jernih dalam keaaan emosi memuncak. Meredakan emosi bisa dilakukan dengan mohon ampun kepada Tuhan (baca: istighfar) dan mengambil nafas panjang kemudian menghembuskannya berkali-kali. Dengan nelakukan hal-hal tersebut denyut nadi dan kecepatan pacu jantung menjadi berkurang. Pada akhirnya emosi kita akan sedikit mereda. Setelah itu cobalah menahan keinginan untuk segera memecahkan masalah, melainkan cobalah koreksi diri dari berbagai sudut pandang.
Bisa terjadi sebuah kemungkinan, bahwa kita memang bersalah, atau memang kita tidak bersalah dari sudut pandang kebijakan pekerjaan. Tetapi dari sudut pandang kemanusiaan mungkin kita telah membuat orang lain menderita. Disadari atau tidak membuat orang lain menederita, jelas akan menanamkan bibit-bibit permusuhan dan kebencian orang lain pada diri kita. Jika bibit-bibit kebencian itu itu sudah bertumpuk, dengan mudah orang yang bersangkutan membuat berbagai macam tindakan/trik yang akan menyudutkan kita. Nah, jika sudah demikian kita akan termakan oleh kebijakan yang konon tidak pernah salah tersebut.
Menyikapi hal yang demikian dituntut kedewasaan dan kearifan yang cukup dalamdari diri kita yang sedang mengalami hujatan. Kesabaran dan kesadaran akan jati diri kitalah yang menyelamatkan diri kita. Namun demikian, walaupun kesabaran dan kesadaran harus kita perkuat bukan berarti harus mengorbankan harkat dan martabat serta harga diri kita sebagai insan Tuhan. Kesabaran dan kesadaran kita harus tetap utuh dalam memecahkan semua masalah dengan kejernihan hati dan akal.
Pertanyaan yang bisa dimunculkan adalah kita terletak pada bagian yang mana? Bagian yang mampu mengendalikan emosi, atau yang tidak mampu mengendalikan emosi? Tentu saja hanya diri kita yang mengetahuinya. Bagaimana? (Nah).

Agus Harianto, S.Pd.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Como Baixar