Rabu, 03 Desember 2008

Kurban oh Korban

Kondisi Negara yang tidak stabil baik bidang ekonomi, sosial, maupun politik benar-benar menjadikan masyarakat (rakyat)sebagai bulan-bulanan. Kondisi yang tidak menentu ini memang bisa saja menguntungkan bagi beberapa pihak. Tetapi diakui atau tidak hanya kelompok yang bermodal saja yang mampu berspekulasi. Sementara 'rakyat kecil' tetap saja gigit jari.
Kalau diperhatikan kondisi negara kita sejak berdirinya NKRI sampai dengan hari ini, tampaknya bisa ditarik sebuah generalisasi bahwa jika terjadi pergantian pimpinan (pengusa, red) pasti terjadi pula pergantian peraturan. Lantas siapakah yang menjadi korban kelinci percobaan dari perubahan-perubahan tersebut? Pepatah mengatakan barang siapa yang tidak mampu mengikuti perubahan akan terlindas/tergilas oleh perubahan itu sendiri. Tetapi marilah sekali lagi kita simak, siapakah yang tidak mampu mengikuti perubahan, dan siapakah yang terlindas Dari sejumlah pertanyaan di atas jawabnya sudah jelas yaitu masyarakat bawah/rakyat kecil. Dengan kata lain rakyat selalu menjadi korban.
Sementara rakyat selalu menjadi korban perubahan, para spekulan justru menikmati kehidupan dengan segala kemewahan dan fasilitasnya. Akibatnya kesenjangan sosial menjadi semakin tajam terjadi dalam masysrakat. Tajamnya kesenjangan sosial pun pada akhirnya merambat ke bidang agama. Sebagai contoh adanya nilai rasa/anggapan bahwa seseorang belum dapat dikatakan kaya/mampu bila belum melaksanakan ibadah haji. Hal ini seakan mengubah konsep ajaran agama menjadi yang wajib haji itu hanya orang kaya saja, tanpa mempedulikan kualitas/kadar kompetensi religinya. Status sosial seseorang kadang diukur dengan berapa kali dia sudah berhaji.
Kembali pada topik utama kurban dan korban. Menurut bahasa jelas ada perbedaan antara istilah kurban dan korban. 'Kurban' cenderung berhubungan dengan sesuatu yang harus dipersembahkan atau disumbangkan (religi),sedangkan istilah 'korban' dapat diartikan penderita atau yang mendapat musibah/bencana. Peringatan Idul Kurban merupakan salah satu dari tonggak-tonggak budaya dan ajaran Islam. Kurban dijatuhkan (bukan korban) dengan niatan ibadah mengikuti jejak Nabi Ibrahim, a.s. dan Nabi Ismail, a.s. Semua Umat Islam disunahkan untuk berkurban sesuai dengan ukuran kemampuan ekonomi masing-masing.
Jika sudah demikian yang terjadi adalah bagaimana seseorang itu bertaqwa kepada Allah SWT. maka semua permasalahan menjadi selasai. Tetapi jika sudut pandangnya sudah berkiblat pada peningkatan status social, akan terjadi dampak negative yang bias merusak sendi-sendi agama. Kurban bagi seorang wajib kurban merupakan ibadah jika dilaksanakan dengan ikhlas berapa pun besarnya nilai kurban tersebut. Namun kurban bagi seorang korban bisa saja menjadi pangkal penderitaan. Sudah barang tentu yang dimaksud korban dalam hal ini adalah kaum duafa/masyarakat ekonomi lemah. Lantas benarkah hari raya Kurban itu dilaksanakan hanya semata-mata karena niat beribadah atau masih adakah unsure riya’_kesombongan dalam diri wajib kurban, tentau saja jawabnya wallahu alambi showaf, hanya Tuhan yang tahu.
Jika melihat kondisisaat ini, dengan kenaikan biaya hidup dan resesi ekonomi maka jelas yang harus selalu berkurbanadalah korban perubahan. Siapak dia? Rakyat kecil… . Kemudian bagaimanakah sikap kita dan apakah yang bias kita perbuat? Nah!
Agus Harianto, S.Pd.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Como Baixar