Selasa, 09 Desember 2008

PEREMPUAN-PEREMPUAN DI KEBUN TEBU

Rintihan daun tebu lepas dari batangnya
Larut dalam bincang, canda, dan tawa
Tak ada risih
Ketika telapak tangan harus merenggut daun-daun tua kasar
Tidak ada rasa perih
Ketika telapak kaki menginjak batu dan duri tajam
Suara mereka menjauh untuk kemudian datang lagi dan terus menjauh
Ditelan luasnya hutan tebu.
Luka gores daun tebu adalah biasa bagi mereka
Mungkin menjadi gelitikan lucu
Tak pernah tersirat sebuah ambisi
Tak pernah tergoda oleh cita-cita
Mengalir seperti air
Mengalun seperti angin
Menjadi perempuan-perempuan di kebun tebu tiada tersiksa oleh damba
Yang ada adalah simponi bersama daun daun tebu

Agus Harianto, S.Pd.

PESAN SANG MIEPRA UNTUK PARA WISUDAWAN

Anakku, aku pernah berjalan sepanjang waktu, hari, bulan , dan tahun.
Anakku, kalau diibaratkan aku pernah berkelana ke semua benua untuk mencari jati diri yang tiada pernah kumengerti.
Anakku, semua sisi kehidupan sebagai seorang remaja sudah kulalui, semua sisi kehidupan sebagai sosok seorang pemuda pelajar yang mempunyai idealisme tinggi sudah pernah aku tempuh.
Aku mencoba menghadirkan semua sisi dalam diriku
Aku telah mengetahui di mana lubang-lubang hidupku yang merupakan kelemahanku sebagai seorang yang harus memikul beban beratnya kehidupan.
Semua orang tentu telah mengetahui betapa keras dan kejamnya kehidupan ini. Betapa rumit kehidupan yang harus kita jalani.
Kadang kita harus bergelut dengan kejamnya dilema sosial, budaya, dan sebangsanya.
Dan kadang kita harus merelakan diri kita untuk menjadi seorang pecundang. Tapi mengapa harus menjadi seorang pecundang?
Sebab kita tidak pernah merasa siap untuk hidup dalam dunia yang penuh dengan sandiwara ini.
Anakku, aku ayahmu, ibumu, gurumu adalah figur yang bisa kau baca.
Bacalah dengan segenap hatimu, agar kami menjadi cermin dalam hidupmu.
Kini sebelum aku melepasmu maka renungkankanlah semua suka dan duka kebersamaan kita.
Janganlah pernah kembali sebelum mendung memudar berganti matahari yang menerangi siang atau bulan yang menerangi malam.
Janganlah pernah membawa keraguan dalam setiap langkahmu, karena keraguan dlam melangkah akan membawa kehancuran dalam hidupmu.
Terjanglah segala kendala dan seretlah sebatas kau bisa, maka kau akanmemeperoleh semua sukses.
Ingatlah bahwa kita harus menggantungkan cita-cita setinggi langit untuk kemudian meraihnya.
Janganlah kalian bermimpi bahwa sukses akan datang dengan sendirinya, tapi sukses harus kalian kejar, kalian usahakan dengan segala daya dan upaya, dengan segala kerja keras.
Anak-anakku, adalah paling penting dalam hidup, bahwa manusia harus selalu ingat dengan asal-usulnya, ingat dengan kodrat kita sebagai makhluk Sang Khalik, selalu ingat dengan siapa yang telah menjadikannya dewasa, berilmu dan berpengetahuan…. Ya adalah guru dan orang tua.
Kini sudah saatnya kalian meniti langkah yang lebih jauh ke depan, kejarlah, raihlah cita dan asamu.
Segala doa selalu memberami langkahmu.
Selamat jalan anakku.

Agus Harianto, S.Pd.

KEPADA WISUDAWAN

Seperti turunnya Sang Dewandaru
Semerbak mewangi memenuhi pradangga keagungan
Seperti gemuruhnya hujan sewindu
Derap para wisudawan yang agung
Menderap, menderu siap meniti langkah
Merenda cita demi kejayaan masa depan
Mereka menatap imajinasi sang maya
Dengan kerendahan hati, dengan kesentosaan berpikir
Mereka wujudkan impian dalam kenyataan
Siswa Wredha Wisuda adalah wujud nyata jati diri para pemuda pelajar yang berdedikasi, adalah tumpuan cita, etika, dan estetika menuju tercapainya sebuah asa
Maka manakala sang wisudawan telah menapakkan langkah
Manakala telah mengejawantah para bathara di kerajaan langit
Wahai para wisudawan selamat jalan
Dan selamatlah asa-asamu, sukseslah harapan kami selamat jalan ananda.

Kalau halilintar mampu menciptakan keagungan mayapada
Kalau sepotong harapan masih bersama asa-asa kesucian
Maka derap dan langkah mereka senantiasa meluluhkan….
Meluluhkan benteng keangkaraan…
Meleburkan segala anasir kehidupan dalam cipta abadi Sang Laku
Demikianlah gambaran Sang Wisudawan
Wahai para wisudawan
Kami adalah ibarat saudara tuamu, maka dengarkanlah apa yang patut
Camkan apa yang perlu…
Haruslah kau berkarya, berprestasi, dan berprestise tinggi
Seperti awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Seperti asap kepada api yang menjadiknanya sirna
Jadilah kalian semua pelajar yang tatag, terampil, trengginas, dan tanggon
Dalam menghadapi bebaya dan cobaan
Akhirnya selamatlah asa-asamu
Sukseslah harapan kami
Selamat jalan wahai ananda tercinta.

Siswa wreda wisuda
Adalah wujud nyata jati diri wisudawan untuk merealisasikan dan mengejawantahkan ilmu, pengetahuan, agama dan budaya.
Menunjukkan citra dan cita pelajara yang berdedikasi tinggi
Ikhklas bakti bina bangsa berbudi bawa laksana
Siswa wreda wisuda
Seperti menyatunya langit dan bumi memanivestasikan imajinasi Sang Maya..
Derap Sang Winisuda Jumeneng Senopati, maka seperti itulah citraan keberhasilan Sang Wisudawan.
Seribu tabir-tabir kesulitan dan kemudahan telah terkuak,
Sekuntum asa dan harapan kini mulai tergenggam.
Selamat datang para wisudawan
Selamat dan sukses ananda tercinta.

Agus Harianto, S.Pd.

KEPADA SAUDARAKU: MAS YANTO

Ketika kubaca suratmu yang bagaikan alunan simponi
Seakan melayang hati ini untuk menjumpai melodi
Teringat saat bersama kita merintis jalan menyemai seni
Berjuta gerak dan pandang, berlaksa kata telah teruntai
Berjuta cita menjadi kebersamaan yang suci
Saudaraku, betapa hati ini menjadi sayatan seribu duri
Betapa diri ini seakan seorang pendosa yang lupa diri
Betapa aku ini telah menjadi seorang yang tak tahu diri
Betapa lama ‘tlah kulupa semua sahabat sejati
Tiba-tiba datang supucuk rindu seuntai bahagia hati
Dari Saudaraku yang dipenuhi dengan peduli
Akan arti seorang sahabat yang begitu menjadi berarti
Terima kasih kasih Saudaraku, ‘tlah aku bangkitkan hati ini
Dari tidur panjang dan lupa yang melilit jati diri
Aku memang masih terus mencari jati diri
Entah kapan kau dapatkan kebenaran sejati
Kepada bumu telah kuletakkan dahiku
Kepada langit telah kutadahkan tanganku
Kepada Tuhan telah kusembahkan sujud dan syukurku
Kini aku datang padamu Saudaraku
Dalam suka citamu, dalam bahagiamu
Bersama tiga matahari dan satu bulan yang menyinarimu
Semoga kebersamaan kita kian menyatu
Melawan segala masa, mengikat kesadaran dan kesaudaraan
Terima kasih Saudaraku, semoga harapan kita menjadi kenyataan
Persaudaraan kita menjadi kekal
Selamat berbahagia bersama tiga mataharimu dan bukanmu.


Saudaramu: Agus Harianto, S.Pd.

BEBATUAN DALAM PERJALANAN

BEBATUAN DALAM PERJALANAN

Dalam sebuah perjalanan panjang kami terantuk bebatuan tajam
Yang membuat luka menganga
Yang menjadikan diri seakan penuh dengan segala derita berkepanjangan
Yang menjadikan diri ini dikuasai oleh segala nafsu dan angkara
Kemudian menjadikan kita srigala bagi sebagian kita yang lain
Kemudian melahirkan penderitaan bagi sebagian kita yang lain
Kemudian menggoreskan luka yang semakin dalam juga bagi sebagian kita yang yang lain.
Sementara itu tiada pernah kita mencoba untuk menghilangkan atau setidaknya menjadikan tumpul tajamnya bebatuan yang membuat luka menganga
Kita tiada dari derita tajamnya bebatuan di jalan kita
Kita tiada dari derita luka menganga
Kita tiada dari derita srigala bagi sebagian kita yang lain
Tapi justru kita menikmati semuanya dengan indahnya nafsu dan angkara kita
Berenang dengan kecipaknya lautan tajam bebatauan dengan tiada lentera atau dian tauhid di sekitar kita
Ya Allah betapa sebenarnya kami terlalu jauh dari segala cerah dan cahaya tauhid

Beratus-ratus tahun sudah
Kita tak pernah istirah
Betapa panjang perjalanan
Betapa panjang bayangan Tuhan
Betapa menyilaukan cahaya Tuhan
Kadang membutakan
Kadang membutakan
Kadang membutakan
Kadang membutakan

Kini kami datang pada Mu Ya Allah dengan indahnya silahturahmi dan kebersamaan
Ingin kami rajut kembali benang-benang kusut yang mengikat kebutaan hati kami
Terimalah segala dari kami dan ampunkan segala derita hati kami.

Aku sebut namamu setiap aku sujud
namun demi kewajibanku
Kusucikan diriku

Kumohon ampunanmu dari segala dosaku
hanya padamu kuberteduh dalam hidup dan matiku

Ampuni segala dosa
Yang tak luput dari dosa-dosa

Ya Allah Ya Tuhanku
Ya Allah Ya Tuhanku bimbinglah jiwa rapuh ini
Menuju tempat bahagia

Agus Harianto, S.Pd.

Jumat, 05 Desember 2008

SEBUAH FENOMENA DARI SEORANG SAHABAT

Sekali lagi eksistensi sebuah persabahatan dipertaruhkan dalam sebuah perjalanan anak manusia. Kadang persabahatan merupakan sebuah tragedi komedi yang senantiasa membelenggu kehidupan semua orang yang ada dalam kosmos alam semesta ini. Mengapa kita harus bertaruh dengan tragedi komedi kehidupan yang selalu membersamai setiap langkah dalam panggung sandiwara dunia ini? Sementara kita mengetahui bahwa rahasia kosmos alam semesta yang demikian luas membuat di antara kita sering salah interpretasi. Menjadikan kita mengalami hal-hal yang kadang benar-benar di luar jangkuan pemikiran kita.
Gadis adalah seorang gadis yang mengalami tragedi psikologis dalam perjalanan hidupnya. Hampir semua orang yang disayanginya pergi meninggalkannya dalam wujud kematian. Kegoncangan psikologis terus menimpanya sampai hampir membuatnya mengalami traumatis dalam hubungan cintanya. Nuansa kekalutan psikis inilah yang diangkat oleh Rudi Soedjarwo dan Melly Goeslaw dalam kisah perjalan sepasang sahabat dan sepasang kekasih. Kekuatan moral yang muncul dalam garapan ini menjadikan suatu daya tarik yang mencuat ke permukaan. “Tentang Dia” memaparkan bagaimana persahabatan dan percintaan seakan menjadi sebuah dilematika yang rumit untuk dipecahkan. Menjadi sebuah tragedi komedi dalam kehidupan Gadis, Rudi, dan Randu. Kemarahan, kekalutan, rasa sayang, dan cinta berkolaborasi dengan indahnya dalam perjalanan hidup mereka. Siapa yang menyangka jika ternyata salah satu di antara mereka ternyata menyembunyikan penderitaan hidup yang demikian berat. Kepergian dan kerelaan untuk melepaskannya merupakan beban yang harus senantiasa siap kita hadapi.
Unsur glamouritas dalam garapan ini tidak menjadi unsur menonjol sebagaimana pada film-film lain terutama film remaja. Unsur kemewahan hanya menjadi latar cerita yang tidak dominan. Penggarapan setting dalam film ini cenderung menonjolkan suasana yang yang mampu membawa penonton ke arah kerinduan dan kesepian akan jati diri. Sisi penggarapan film ini tampak menekankan benar unsur suspense dan foreshadowing. Pembayangan yang terjadi dan dialami oleh penonton merupakan tujuan akhir dari penggarapan film ini. “Tentang Dia” seakan memberikan citraan (image) tentang bagaimana kita menjalani kehidupan ini. Gambaran yang menyampaikan bahwa bukan sekedar nilai material yang menjadi tujuan hidup kita, melainkan juga nilai-nilai lain yang bersifat nonfisik, seperti kebutuhan akan kasih sayang dan pengakuan orang lain akan jati diri kita.
Kelihaian Rudi dalam hal ‘casting’ menjadikan film ini benar-benar mampu menjadikan film ini sangat bernilai. Dengan kesempurnaan teknik penggarapannya Rudi berhasil menciptakan penggambaran dan visualisasi yang memikat. Hampir semua semua adegan digarap dengan penuh kejelian, sehingga seakan tidak ada sedikit pun celah yang bisa membuat kita merasa enggan untuk terus mengikuti konflik psikologis ini. Tetapi di antara kelebihan penggarapan tetap saja tidak bisa dilepaskan dari ketidaksempurnaan. “Tentang Dia” tidak saja menyajikan sesuatu yang bernilai moral tinggi, tetapi juga menyuguhkan suatu fenomena sosial yang bisa memberikan efek negatif secara psikologis kepada penonton. Bagaimana pun “Tentang Dia” telah mampu memberikan sesuatu yang lebih pada kita terutama tentang cara berpikir dan berindak secara dewasa.

Agus Harianto, S.Pd.

ANTARA DARWIN DAN BUDAYA

Kehidupan manusia telah mengalami perkembangan yang luar biasa. Perkembangan yang dimulai dari tingkat keprimitifan sampai pada era globalisasi inbi sebenarnya merupakan sebuah evolusi kehidupan yang berhasil gemilang. Bagaimana tidak, kalau hasil evolusi itu telah mampu membangkitkan kehidupan baru yang lain dari dulu, bahkan mamou mengejawantahkan imajinasi para ambisius masa lalu. Darwin dengan teori evolusinya telah menggemparkan dunia, terutama masyarakat agama. Kalau memang Darwin salah dengan teorinya, paling tidak kita tahu bahwa kita sebenarnya mengalami evolusi pada sisi lain. Kita telah mengalami perkembangan kebudayaan dan peradaban. Apakah ini bukan sebuahb evolusi? Jawabnya tentu saja benar bahwa itu adalah sebuah evolusi peradaban. Nah sebagai manusia budaya apakah kita pernah berpikir untuk menggemparkan dunia seperti Darwin?
Charles Darwin mungkin saja tidak pernah berpikir sebelunya, bahwa ia akan menggemparkan dunia dengan teori evolusinya yang menyatakan bahwa manusia mempunyai hubungan kekerabatan dengan kera(ordo: primate). Namun paling tidak Darwin telah membuka mata pikir masyarakat ilmuwan dunia untuk mulai berpikir tentang jati diri manusia. Tentu saja hal ini harus kita lepaskan dari kajian agama.
Kembali pada manusia sebagai insan budaya, manakah yang benar antara manusia sebagai subjek (pelaku) budaya atau manusia sebagai objek kebudayaa? Hal ini memerlukan pemikiran yang jernih dan tidak boleh tergesa-gesa. Djojodigoeno (1985:-) dalam Ilmu Budaya Dasar (Sastrosupono, 1984:14-15) menyatakan bahwa budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa. Cipta adalah segala kerinduan manusia untuk mengetahui rahasia segala hal yang ada dalam pengalamannya, yang meliputi pengalaman lahir dan batin. Hasil cipta berupa ilmu pengetahuan. Karsa adalah segala kerinduan manusia untuk menginsyafi tentang hal 'sangkan paran'. Dari manusia sebelum lahir (sangkan) dan ke mana manusia setelah mati (paran). Dari sangkan tersebut hasilnya adalah norma-norma keagamaan/kepercayaan. Rasa adalah kerinduan manusia akan keindahan, sehingga ,menimbulkan dorongan baginya untuk menikmati keindahan.
Sementara itu Sastrosupeno (1985:15) menjelaskan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar yang semuanya tersusun dalam tata kehidupan bermasyarakat.
Dari pengertian kebudayaan tersebut kita dapat menarik suatu kesimpulan bahwa manusia adalah pelaku /subjek budaya, namun ada kalanya manusia akan menjadi objek kebudayaan tersebut. Jika manusia sudah menjadi objek kebudayaan, kefatalan yang muncul sebagai akibatnya. Berarti manusia bukan lagi sosok pemikir, pengonsep, perencana, dansebaginya melainkan sebagai benda mati yang siap untuk dijadikan objek oleh kebudayaan yang ada.
Pada dasarnya kebudayaan dan peradaban itu datangnya dari manusia yang berpikir untuk diri mereka sendiri. Sebaliknya bagi mereka yang tidak pernah mau berpikir maka 'dia' justru akan menjadi objek/makanan dari kebudayaan tersebut. Dia akan terbelenggu erat oleh mata rantai budaya yang sempit dan feodalis. Nah, bagaimana dengan kita?
Sudah barang tentu kita harus mampu menjadi manusia budaya (baca: berbudaya) seutuhnya yang mampu memberikan keseimbangan (balance) antara menjadi subjek dan objek kebudayaan. Masalah yang timbul adalah bagaimana caranya untuk dapat menjadi manusia budaya yang ber-"balance". Untuk dapat menjadi manusia yang ber-"balance" diperlukan cara berpikir yang logis, berwawasan luas, dan tahu/paham maksud sebenarnya dari kebudayaan. Dengan begitu kita akan dapat terhindar dari krisis dekadensi budaya.
Dekadensi budaya ini terjadi karena salah menginterpretasikan kebudayaan. Wujud dari dekadensi budya ini adalah kemerosotan moral, kemerosotan nilai-nilai adiluhung bangsa, mulai menipisnya rasa kegotongroyongan yang menjadi cirri khas bangsa, mulai pudarnya cinta terhadap hasil karya seni budaya adilihung, dsb. Sebagai contoh, kesenian wayang kulit yang demikian agung karena memuat hampir semua nilai kehidupan Jawa, ternyata hanya mampu menggaet secuil lapisan masyarakat yang memang berkepentingan dalam bidang itu. Sebagian besar masyarakat terutama kalangan muda tidak ambil peduli lagi terhadap kesenian wayang. Bahkan tampak lebih cenderung pada musik barat yang brang, breng, brong.
Benarkah ini suatu pertanda evolusi yang lebih buruk bagi kelangsungan hidup budaya bangsa_kebudayaan nasional? Ataukah hanya sebuah fenomena karena manusiaIndonesia tidak mampu lagi menjadi manusia budaya yang berkeseimbangan (balance of human culture)? Dan benarkah teori evolusi Darwin akanmenjadi boomerang bagi manusia? Nah!
Agus Harianto, S.Pd.

Rabu, 03 Desember 2008

Kurban oh Korban

Kondisi Negara yang tidak stabil baik bidang ekonomi, sosial, maupun politik benar-benar menjadikan masyarakat (rakyat)sebagai bulan-bulanan. Kondisi yang tidak menentu ini memang bisa saja menguntungkan bagi beberapa pihak. Tetapi diakui atau tidak hanya kelompok yang bermodal saja yang mampu berspekulasi. Sementara 'rakyat kecil' tetap saja gigit jari.
Kalau diperhatikan kondisi negara kita sejak berdirinya NKRI sampai dengan hari ini, tampaknya bisa ditarik sebuah generalisasi bahwa jika terjadi pergantian pimpinan (pengusa, red) pasti terjadi pula pergantian peraturan. Lantas siapakah yang menjadi korban kelinci percobaan dari perubahan-perubahan tersebut? Pepatah mengatakan barang siapa yang tidak mampu mengikuti perubahan akan terlindas/tergilas oleh perubahan itu sendiri. Tetapi marilah sekali lagi kita simak, siapakah yang tidak mampu mengikuti perubahan, dan siapakah yang terlindas Dari sejumlah pertanyaan di atas jawabnya sudah jelas yaitu masyarakat bawah/rakyat kecil. Dengan kata lain rakyat selalu menjadi korban.
Sementara rakyat selalu menjadi korban perubahan, para spekulan justru menikmati kehidupan dengan segala kemewahan dan fasilitasnya. Akibatnya kesenjangan sosial menjadi semakin tajam terjadi dalam masysrakat. Tajamnya kesenjangan sosial pun pada akhirnya merambat ke bidang agama. Sebagai contoh adanya nilai rasa/anggapan bahwa seseorang belum dapat dikatakan kaya/mampu bila belum melaksanakan ibadah haji. Hal ini seakan mengubah konsep ajaran agama menjadi yang wajib haji itu hanya orang kaya saja, tanpa mempedulikan kualitas/kadar kompetensi religinya. Status sosial seseorang kadang diukur dengan berapa kali dia sudah berhaji.
Kembali pada topik utama kurban dan korban. Menurut bahasa jelas ada perbedaan antara istilah kurban dan korban. 'Kurban' cenderung berhubungan dengan sesuatu yang harus dipersembahkan atau disumbangkan (religi),sedangkan istilah 'korban' dapat diartikan penderita atau yang mendapat musibah/bencana. Peringatan Idul Kurban merupakan salah satu dari tonggak-tonggak budaya dan ajaran Islam. Kurban dijatuhkan (bukan korban) dengan niatan ibadah mengikuti jejak Nabi Ibrahim, a.s. dan Nabi Ismail, a.s. Semua Umat Islam disunahkan untuk berkurban sesuai dengan ukuran kemampuan ekonomi masing-masing.
Jika sudah demikian yang terjadi adalah bagaimana seseorang itu bertaqwa kepada Allah SWT. maka semua permasalahan menjadi selasai. Tetapi jika sudut pandangnya sudah berkiblat pada peningkatan status social, akan terjadi dampak negative yang bias merusak sendi-sendi agama. Kurban bagi seorang wajib kurban merupakan ibadah jika dilaksanakan dengan ikhlas berapa pun besarnya nilai kurban tersebut. Namun kurban bagi seorang korban bisa saja menjadi pangkal penderitaan. Sudah barang tentu yang dimaksud korban dalam hal ini adalah kaum duafa/masyarakat ekonomi lemah. Lantas benarkah hari raya Kurban itu dilaksanakan hanya semata-mata karena niat beribadah atau masih adakah unsure riya’_kesombongan dalam diri wajib kurban, tentau saja jawabnya wallahu alambi showaf, hanya Tuhan yang tahu.
Jika melihat kondisisaat ini, dengan kenaikan biaya hidup dan resesi ekonomi maka jelas yang harus selalu berkurbanadalah korban perubahan. Siapak dia? Rakyat kecil… . Kemudian bagaimanakah sikap kita dan apakah yang bias kita perbuat? Nah!
Agus Harianto, S.Pd.

Sudut Kepribadian Manusia

Semakin arif dan bijaksana seseorang, semakin siap dan matang menghadapi hidup. Sehingga jika ada pepatah mengatakan bahwa semakin tinggi pohon semakin kuat angin yang menghempasnya, sudah sepatutnya kita untuk memperthatikannya. Kata-kata tersebut bukan sekedar kata-kata manis yang berbau ungkapan, melainkan kata-kata hikmah yang bisa kita buktikan kebenarannya. Banyak orang marah, merasa direndahkan, benci, jengkel, dan bermacam-macam perasaan yang lain jika mendapat hujatan dari orang lain. Emosi yang meluap-luap menjadikan kita lupa akan keadaan dan eksistensi diri. Yang terasa saat itu hanyalah kein ginan untuk segera meluapkan rasa marah, benci, jengkel, yang berkecamuk di hati. Pada saat yang sama kita mempunyai asumsi bahwa kita tidak mempunyai kesalahan, kita benar mengapa masih dicaci, dihujat, bahkan mungkin difitnah? Untuk itu kita harus segera menyelesaikannya saat itu pula, tidak bisa tidak! Dan kita merasa yakin, kita pasti mampu menyelesaikannya, tanpa memperhitungkan bagaimana kondisi kemampuan diri kita sendiri.
Kehadiran orang ketiga yang bisa bersifat sebagai tokoh tirtagonis/tokoh penengah kadang bisa menolong untuk meredakan emosi kita, sehingga kita bisa berpikir lebih jernih. Tentu saja orang ketiga ini harus benar-benar netral dan ada di luar garis. Jika orang ketiga ada di dalam garis atau mempunyai kepentingan pribadi, misaklnya sengaja memancing di air keruh, bisa saja justru menambah parahnya suasana hati kita. Sebaiknya kita berhati-hati terhadap orang ketiga, agar kita tidak semakin terperosok dalam kekalutan pikiran dan meledak-ledaknya emosi.
Dalam keadaan seperti ini jalan yang paling tepat untuk menyelesaikan masalah adalah dengan meredakan emosi diri kita terlebih dahulu. Tidak mungkin kita mampu berpikir jernih dalam keaaan emosi memuncak. Meredakan emosi bisa dilakukan dengan mohon ampun kepada Tuhan (baca: istighfar) dan mengambil nafas panjang kemudian menghembuskannya berkali-kali. Dengan nelakukan hal-hal tersebut denyut nadi dan kecepatan pacu jantung menjadi berkurang. Pada akhirnya emosi kita akan sedikit mereda. Setelah itu cobalah menahan keinginan untuk segera memecahkan masalah, melainkan cobalah koreksi diri dari berbagai sudut pandang.
Bisa terjadi sebuah kemungkinan, bahwa kita memang bersalah, atau memang kita tidak bersalah dari sudut pandang kebijakan pekerjaan. Tetapi dari sudut pandang kemanusiaan mungkin kita telah membuat orang lain menderita. Disadari atau tidak membuat orang lain menederita, jelas akan menanamkan bibit-bibit permusuhan dan kebencian orang lain pada diri kita. Jika bibit-bibit kebencian itu itu sudah bertumpuk, dengan mudah orang yang bersangkutan membuat berbagai macam tindakan/trik yang akan menyudutkan kita. Nah, jika sudah demikian kita akan termakan oleh kebijakan yang konon tidak pernah salah tersebut.
Menyikapi hal yang demikian dituntut kedewasaan dan kearifan yang cukup dalamdari diri kita yang sedang mengalami hujatan. Kesabaran dan kesadaran akan jati diri kitalah yang menyelamatkan diri kita. Namun demikian, walaupun kesabaran dan kesadaran harus kita perkuat bukan berarti harus mengorbankan harkat dan martabat serta harga diri kita sebagai insan Tuhan. Kesabaran dan kesadaran kita harus tetap utuh dalam memecahkan semua masalah dengan kejernihan hati dan akal.
Pertanyaan yang bisa dimunculkan adalah kita terletak pada bagian yang mana? Bagian yang mampu mengendalikan emosi, atau yang tidak mampu mengendalikan emosi? Tentu saja hanya diri kita yang mengetahuinya. Bagaimana? (Nah).

Agus Harianto, S.Pd.

Como Baixar